Madarasah sebagai salah satau
institusi pendidikan Islam, yang secara historis telah berabad-abad usianya.
Namun usia yang begitu tua tidak menjadikan keberadaan madrasah sebagai
lembagayang kondusif untuk proses belajar mengajarapabila dibandingkan dengan
sekolah-sekolah yang nota bene baru berusia muda.
Jatuh bagun,
perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan dinamika perubahan zaman. Kondisi
pasang surut, dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang ada pada saat
itu tidak lepas dari peranan penguasa.
makalah ini akan
memaparkan sejarah madrasah tingkat tinggi yang tertua, ada dua madrasah
az-Zaitunah di Tunisia dan madrasah al-Azhar di Mesir yang sangat perperan
dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terlebih ilmu-ilmu keislaman.
UNIVERSITAS AZ-ZAITUNAH
A.
Latar
Belakang Berdirinya Az-Zaitunah
Pada
masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif,
dimana perhatian tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang
terhenti sejak zaman kedua khulafaur rasyidin terakhir. Hanya dalam jangka
waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin berramai-ramai masuk
ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika
Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, dan lainnya.
Ekspansi
inilah terus menerus dari generasi ke generasi, kemudian tiba masa kekuasaan
Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-714 M) memerintah 10 tahun lamanya.[1]
Pada masa pemerintahanya, kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. kekuasaan
Islam melangkah ke spanyol di bawah pimpinan pasukan Thariq bin Ziyad, ketika
Afrika dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair. Karena kekayaan melimpah maka
ia sempurnakan pembangunan masjid-masjid, gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan
jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk kafilah yang berlalu lalang
dijalan tersebut.[2]
Pada
zaman pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik masjid Umawiyah didirikan antara
tahun 88-96 H (705-714) yang merupakan universitas terbesar di zaman Umawiyah.
Pada zaman ini juga didirikan Masjid Zaitunah di Tunisia yang dianggap
sebagai universitas tertua di dunia yang masih hidup sampai sekarang yang
didirikan oleh Ubaidillah bin al-Habhab pada tahun 114 H. Juga didirikan Masjid
Al-Qairawan oleh Uqbah bin Nafi yang menaklukan Afrika
Utara pada tahun 50 H.[3]
Universitas
az-Zaitunah selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai pengembangan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan, seperti halnya masjid-masjid lainnya. Di
universitas az-Zaitunah memberikan pengajaran Ilmu Agama Islam sejak tahun 120
H, Masjid az-Zaitunah merupakan perguruan tinggi Arab-Islam tertua dan terus
berlanjut mempunyai peran pendidikan selama 13 abad. Fakta ini ditujukan oleh
sejarawan Hasan Husni Abdul Wahab yang menegaskan: “Masjid Zaitunah secara
sejarah adalah pengajaran paling awal dan tertua yang didirikan di dunia Arab.”[4] Dalam kapasitas ganda sebagai universitas
dan tempat ibadah mengalami kejayaan sampai akhir masa Dinasti Hafsiah (634-981
H/1237-1537 M).
B.
Perkembangan
Az-Zaitunah
1.
Masa
Dinasti ummayah
Kota
Tunis pertama kali dibangun Kaisar Romawi, Augustus, pada abad pertama Masehi.
Ajaran Islam mulai menyebar di kota itu, ketika Dinasti Umayyah yang berpusat
di Damaskus mulai memperluas kekuasaannya ke wilayah Maghrib yang dikuasai
Kekaisaran Bizantium. Khalifah Muawiyah bertekad untuk merebut wilayah itu dari
genggaman Bizantium.
Sejak
itulah, Islam mulai berkembang di kota Tunis. Suku Barbar yang menghuni kota
itu menerima kehadiran agama Islam. Menurut Prof Hodgson, suku Barbar pun mulai
berasimilasi dengan bangsa Arab yang datang ke kota itu.
Ketika
Kekhalifahan Umayyah yang berpusat di Damaskus tumbang pada 748 M, kekuasaan
dunia Islam mulai digenggam Dinasti Abbasiyah. Peralihan kekuasaan ini
menyebabkan kota Tunis dan seluruh wilayah Tunisia sempat terlepas dari
pengawasan pusat kekhalifahan. Namun, pada 767 kota Tunis kembali dapat
dikuasai Dinasti Abbasiyah pada 767 M.
2.
Masa
Dinasti Aglabiah
Tiga tahun kemudian, Khalifah Abbasiyah yang
berpusat di kota Baghdad menunjuk Ibrahim Ibnu Aghlab sebagai gubernur Afrika
Utara yang berpusat di Qairawan. Mulai saat itu, peradaban Islam mencapai era
kejayaan di Tunisia dan kawasan Arab Maghrib.
Dinasti Aglabiah yang menjalin hubungan yang
erat dengan Kekhalifahan Abbasiyah banyak menerapkan meniru kebijakan dinasti
yang berpusat di Baghdad itu. Salah satunya, Dinasti Aglabiah turut mendirikan Bait
Al- Hikmah, seperti yang dilakukan Dinasti Abbasiyah di Bagdad. Ketika itu,
penguasa Dinasti Aghlabiah pada masa Abu Ishak, memutuskan untuk memindahkan
pusat pemerintahannya dari Qairawan ke Tunis. Saat Dinasti Ahglabiah berkuasa,
di Tunis berdiri dengan megah istana kerajaan. Selain itu, ilmu pengetahuan pun
mulai berkembang di kota itu.
Memasuki tahun 910 M, kejayaan Aghlabiah
memudar. Kota Tunis terpuruk dalam kubangan huru-hara ketika bangsa Normandia
menginvasi wilayah Maghrib. Bangsa Normandia berhasil dipukul Kekhalifahan
Fatimiyah yang berpusat di Mesir.
3.
Masa Dinasti
Al-Muwahidun
Tunis kembali mulai bergeliat ketika Dinasti
Almohad atau Al-Muwahidun yang berasal dari suku Barbar Islam berkuasa pada
abad ke-12 M. Pada era kejayaan Almohad, ilmu pengetahuan berkembang pesat di
wilayah Maghrib.
Salah seorang sarjana terkemuka pada era
itu, Abu Yusuf Yakub, membangun sejumlah perpustakaan di Tunis dan wilayah
Maghrib lainnya. Dinasti ini juga mendukung aktivitas para sarjana Muslim,
seperti Ibnu Tufail dan Ibnu Rushd untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah
satu arsitektur peninggalan dinasti ini adalah bangunan Giralda of Seville.[5]
4.
Masa
Dinasti Hafsiah
Puncak kejayaan kota Tunis berlangsung di
era kekuasaan Dinasti Hafsiah. Pada masa itu, di Tunis berdiri sebuah perguruan
tinggi pertama di Afrika Utara.
Tunis pun menjadi kota yang berpengaruh.
Kota itu berkembang menjadi kota perdagangan dan ilmu pengetahuan. Para
pedagang dari Venesia dan berbagai belahan dunia lainnya datang ke Tunis untuk berniaga.
Kemakmuran yang dicapai kota Tunis masih
dapat disaksikan pada abad akhir awal abad ke-16 M. Seorang pelaut dari Turki,
Pipi Reis, dalam catatan perjalanannya melukiskan kemegahan dan keindahan kota
itu. Menurut Reis, di kota itu berdiri sekitar 5.000 rumah yang gaya
arsitekturnya meniru istana kerajaan. Sepanjang kota itu dihiasi dengan kebun
dan taman nan indah. Setiap taman terdapat vila, kios, kolam, dan air mancur.
Aroma melati yang harum mewarnai segarnya udara di kota Tunis. Buah- buahan
begitu melimpah. Tak heran, bila ketika itu, Tunis menjadi pusat perhatian.
5.
Masa
Dinasti Usmaniyah
ketika orang-orang Spanyol menaklukan
Tunisia antara 940 dan 981 Hijirah / 1534 dan 1574 Masehi, mereka menjarah
Masjid-Masjid dan perpustakaan di sana, serta mengambil banyak dari koleksi
buku dan manusktip perpustakaan yang sangat berharga. Kekhalifahan Turki
(Utsmaniyah) yang merebut kembali Tunisia dari tangan orang-orang Spanyol
memperbaiki kembali bahkan juga memperbesar Masjid Zaytuna, perpustakaan dan
juga madrasahnya. Usaha yang dilakukan oleh Kekhalifahan Utsmaniyah itu membuat
Masjid Zaytuna kembali menjadi pusat kebudayaan Islam. Bangsawan Turki (Bey),
Ahmad Pasha I, tidak hanya me-revitalisisasi Perpustakaan Ahmadiyya, dia juga
mengorganisasi dan dengan baik hati mendukung pendidikan di Zaytuna, selain
menyumbangkan dalam jumlah buku pada perpustakaan masjid. Ilmu baru
diperkenalkan pada 1896 termasuk fisika, ekonomi politik dan Bahasa Prancis. Di
Al-Zaytuna lah di mana beberapa tokoh kebudayaan Islam Arab dicetak, di antara
mereka yang terkenal adalah Taufik al-Madani, dan tentu saja termasuk
Abdul-Hamid Ibnu Badis sosok yang mengembalikan identitas Islam di Aljazair
pada 1940an.
C.
Metode
dan Kurikulum
Mula-mula,
tradisi Islam sangat mewarnai bentuk pendidikan di Tunisia. Pemahaman kandungan
kandungan al-Quran menjadi prioritas, disamping ilmu pengetahuan lainnya,
seperti; bahasa, sastra, ilmu sosial, ilmu kedokteran, sejarah dan sebagainya.
Proses
pembelajarannya bisa dikatagorikan menjadi tiga metode, antara lain:
Pertama,
metode talqin, yakni pembacaan materai pelajaran oleh guru, lalu
langsung dihafalkan oleh murid.
Kedua,
metode halaqoh,yakni para murid melingkari guru yang sedang mengajar. Para
murid haris mendengarkan penjelasannya tanpa dituntut menjelaskannya. Metode
ini hamper mendominasisetiap tempat-tempat pendidikan, baik masjid maupun
rumah-rumah syikh selama berabad-abad, hingga pada zaman al-Muwahidun.
Ketiga,
pada masa dinasti Hafsiah sistem halaqoh dirumbak menjadi sistem madrasah.
Sedangkan pada masa Turki Usmani sekolah-sekolah dibangun, dilengkapi serta
disediakannya asrama bagi guru maupun murid.
D.
Kemajuan
dam Kemunduran Az-Zaitunah
1.
Tata letak
kota Tunisia
Tata Kota di Era Kejayaan Lainnya sebuah
kota modern, pada abad ke-13 Tunis telah tampil sebagai kota yang cantik dan
elegan. Penataan kotanya begitu terencana dengan baik. Tunis adalah cerminan
nilai budaya dan sosial Islam yang sesungguhnya. Kota Muslim itu ditata
berdasarkan fungsi sosial-budaya tanpa melupakan nilai ekonominya.
Kota Tunis yang megah dan indah itu ditopang
beberapa elemen penting yang membuatnya begitu kental bernuansa Islam. Elemen
penting itu, antara lain: Masjid Tempat beribadah umat Islam itu berdiri di
tengah-tengah kota. Masjid menjadi pusat aktivitas kegamaan dan keilmuan.
Masjid tak hanya menjadi tempat untuk beribadah, namun juga menjadi pusat
menimba ilmu pengetahuan. Di sekitar masjid berdiri universitas dan
perpustakaan. Kota Zaytuna memiliki sebuah perpustakaan bernama al-Abdaliyah
yang memiliki dalam jumlah besar koleksi manuskrip langka, tentu saja hal itu
menarik banyak orang dari pelbagai lokasi untuk mempelajarinya.
Pusat perdagangan Di sekitar kompleks
Al-Zaituna terdapat sebuah jaringan pusat perbelanjaan, seperti pasar, bazar,
dan tempat belanja di pinggir jalan. Pusat perdagangan ini mencerminkan denyut
perekonomian di jantung kota. Di dekat masjid terdapat penjual buku, parfum,
pedagang pakaian, dan pedagang manisan buah-buahan. Permukiman penduduk Hampir
di setiap pemukiman penduduk terdapat masjid, tempat umat melaksanakan shalat
lima waktu. Bangunan rumah di era itu juga sudah sangat bagus dan modelnya
mengikuti bentuk istana raja. Infrastuktur transportasi Jalan-jalan yang bagus
menghiasi kota Tunis. Jalanan ini menghubungkan satu tempat ke tempat lainnya.
Sarana transportasi seperti kuda sudah tersedia. Kasbah Kota Tunis dikelilingi
oleh tembok yang sangat kuat. Tembok ini menjadi benteng pertahanan.
2.
Tata letak
kota Tunisia
Meski era kejayaannya telah berlalu delapan
abad silam, sejarah peradaban Islam tetap mencatat kota Tunis sebagai pusat
ilmu pengetahuan. Aktivitas keilmuan menggeliat di kota itu seiring berdirinya
Universitas Al-Zaituna perguruan tinggi pertama di Afrika Utara.
Universitas Al-Zaitunah mulai menjadi
perguruan tinggi berpengaruh pada awal abad ke-13 M. Saat itu, kota Tunis
menjadi ibu kota kekhalifahan Hafsiah. Universitas itu berhasil meluluskan
seorang sarjana Muslim tersohor bernama Ibnu Khaldun. Sejak saat itulah
mahasiswa dari berbagai penjuru datang dan menimba ilmu di perguruan tinggi
yang mampu mencetak seorang ahli sejarah sosial pertama itu.
Orang Spanyol tak hanya menjarah kitab-kitab
dan manuskrip yang penting, namun juga menghancurkan bangunan Masjid Al-
Zaituna buah karya arsitektur kota Tunis di era kejayaan. Untunglah, para
pengacau dari Spanyol itu segera diusir oleh pasukan tentara Muslim dari
Kekhalifahan Utsmani Turki. Bangunan masjid yang diporak-porandakan kembali
dipercantik. Gubernur Ustmani Turki yang ditempatkan di kota Tunis juga
memulihkan perpustakaan yang dijarah dan mengembalikan geliat studi di
Universitas Al-Zaituna.
Di perguruan tinggi itu, para mahasiswa
mempelajari beragam ilmu, seperti Alquran, ilmu hukum, sejarah, tata bahasa,
sains, dan kedokteran. Begitu banyak kitab dan manuskrip yang dihasilkan para
ilmuwan di Universitas Al-Zaitunah.
Sayangnya, ketika orang-orang Spanyol
menaklukan Tunisia antara (940 dan 981 H/1534 dan 1574 M), mereka menjarah
Masjid-Masjid dan perpustakaan di sana, serta mengambil banyak dari koleksi
buku dan manusktip perpustakaan yang sangat berharga. Kekhalifahan Turki
(Utsmaniyah) yang merebut kembali Tunisia dari tangan orang-orang Spanyol
memperbaiki kembali bahkan juga memperbesar Masjid Zaitunah, perpustakaan dan
juga madrasahnya. Usaha yang dilakukan oleh Kekhalifahan Utsmaniyah itu membuat
Masjid Zaitunah kembali menjadi pusat kebudayaan Islam. Bangsawan Turki (Bey),
Ahmad Pasha I, tidak hanya me-revitalisisasi Perpustakaan Ahmadiyya, dia juga
mengorganisasi dan dengan baik hati mendukung pendidikan di Zaitunah, selain
menyumbangkan dalam jumlah buku pada perpustakaan masjid. Ilmu baru
diperkenalkan pada 1896 termasuk fisika, ekonomi politik dan Bahasa Prancis.
Di Al-Zaitunah lah di mana beberapa tokoh
kebudayaan Islam Arab dicetak, di antara mereka yang terkenal adalah Taufik
al-Madani, dan tentu saja termasuk Abdul-Hamid Ibnu Badis sosok yang
mengembalikan identitas Islam di Aljazair pada 1940an.
Perpustakaan Zaitunah di Tunisia, adalah
yang paling kaya di antara lainnya. Memiliki beberapa bagian koleksi yang bila
beberapa bagian itu dijumlah total semuanya akan mencapai ribuan koleksi. Saat
itu kebanyakan pemimpin dari dinasti kekhalifahan Hafsid saling berkompetisi
satu sama lainnya untuk menjadi pemimpin yang paling prestisius dalam merawat
dan memperbesar koleksi buku pada perpustakaan Masjid; yang mana pernah pada
suatu masa salah satu pimpinan mereka koleksi buku mencapai jumlah 100,000
volume.
Salah satu faktor yang mendorong kota Tunis menjadi kota ilmu pengetahuan adalah hijrahnya para ilmuwan dari Spanyol Muslim. Ilmuwan dari Spanyol Muslim yang mengembangkan ilmunya di Tunis itu, salah satunya, Abu Salt Umaiya. Abu Salt dikenal sebagai seorang dokter, matematikus, serta astronom. Ia lahir di Denia, Andalusia, pada 1067 M dan meninggal di Tunis pada 1134 M.
Salah satu faktor yang mendorong kota Tunis menjadi kota ilmu pengetahuan adalah hijrahnya para ilmuwan dari Spanyol Muslim. Ilmuwan dari Spanyol Muslim yang mengembangkan ilmunya di Tunis itu, salah satunya, Abu Salt Umaiya. Abu Salt dikenal sebagai seorang dokter, matematikus, serta astronom. Ia lahir di Denia, Andalusia, pada 1067 M dan meninggal di Tunis pada 1134 M.
Selain itu, ada pula Abu Bakar Ibnu Said
An-Nas. Dia adalah seorang ahli hukum di Spanyol Muslim yang hijrah ke Tunis.
Di kota itu, dia menjadi seorang guru besar hukum di Universitas Al-Zaituna.
Ketika Islam diusir dari Spanyol, para arsitek, seniman, tukang batu, dan ahli
landskap meloloskan diri ke kota Tunis. Kemajuan yang sempat dicapai di Spanyol
Muslim pun berpindah ke Tunis.
Mungkin saja, kemegahan dan kekayaan yang
dimiliki kota Tunis itulah yang mendorong bangsa Prancis untuk menguasai dan
menjajah wilayah itu pada abad ke-19 M hingga 20 M. Hingga kini, Islam masih
menjadi agama resmi di Tunisia dengan jumlah pemeluk agama Islam mencapai 95
persen. Wajah Islam modern dan moderat menjadi identitas umat Islam Tunisia.
Prinsip toleransi beragama dan kebebasan menjalankan ibadah di antara umat
beragama sangat dijunjung tinggi. Gerakan tarekat sufi yang dulu sempat subur
di Tunisia, kini tersisih karena imbas modernisasi ini.
UNIVERSITAS
AL-AZHAR
A.
Latar
Belakang Berdirinya Al-Azhar
Dinasti
Fatimiyah adalah sebuah dinasti yang terletak di Tunisia yang di bangun pada
tahun 909 M.[6]
Wilayah kekuasaan Dinasti fathimiyah meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah.
Berdirinya Dinasti fathimiyah dilatarbelakangi oleh Dinasti Abbasiyah. ketika
itu Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang
luas tidak lagi terkoordinasiakan. Kondisi ini telah membuka peluang bagi
kemunculan dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan
sultannya mempunyai tentara sendiri.[7]
Diantara dinasti kecil yang memisahkan adalah Dinasti fathimiyah. Dinasti
fathimiyah sendiri mengambil nama dari Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah SAW.,
dinasti ini mengeklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah binti Rasulullah. Menurut mereka, Ubaidillah al-Mahdi yang
memiliki Mazhab Syi’ah Isamailliyah, sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu
Isma’il bin Ja’far Ash-Shidiq. Sedangkan Isma’il merupakan Imam Siy’ah yang
ketujuh.[8]
Sehingga pemimpin gerakan ini Ubaidillah
bin al-Mahdi mengumumkan berdirinya Dinasti fathimiyah yang terlepas dari
kekuasan Dinasti Abbasiyah. Ia memperkuat dan mengonsolidasikan khalifahnya di
Tunisia dengan bantuan Abdullah al-Syi’ii seorang dai Ismailiyah yang sangat
besar perannya dalam mendirikan Dinasti fathimiyah tersebut.[9]
Pada
masa khalifah yang keempat dari Dinasti fathimiyah yaitu Abu Tamim Ma’ad dengan
bergelar Mu’iz Lidinillah[10] ketika
Mesir dilanda kerusuhan serius pada tahun 968 M. Mu’iz segera memerintahkan
Jauhar untuk mengerahkan menaklukan Mesir. Pada tahun 969 M, Jauhar berhasil
menaklukan Fustat tanpa suatu perlawanan. Peristiwa ini menandai berakhirnya
kekuasaan Dinasti Ikhsidiyah di Mesir, dan Mesir memasuki era baru di bawah
kekuasaan Dinasti fathimiyah. Jauhar segera membangun kota Fustat menjadi kota
baru dengan nama al-Qahirah (kairo).[11]
Setelah
membangun lengkap dengan istannya Pada tahun 362 H/973 M, kalifah Mu’iz
Lidinillah memindahkan ibu kota Dinasti dari Kairawan di Tunisia ke al-Qahirah
di Mesir. pada tahun itu pula diresmikannya Masjid al-Azhar yang di dalamnya
berdiri Universitas al-Azhar, yang berfungsi sebagi pusat pengkajian Islam dan
pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan mendasarkan pada madzhab Syiah
Ismailiyah.[12]
Latarbelakang
berdirinya Universitas al-Azhar adalah untuk kepentingan politik oleh penguasa
Dinasti Fathimiyah yang bermazhab Syiah, dengan tujuannya, antara lain:
1.
Berusaha
mengajak masyarakat untuk memeluk madzhab Syiah Ismailiyah.[13]
2.
Mencetak
kader-kader Mubaligh yang bertugas meyakinkan masyarakat akan kebenaran yang
dianutnya.[14]
3.
Menjadikan
madzhab ini sebagai madzhab utama di Negara Mesir.[15]
B.
Perkembangan
Al-Azhar
Pola
pendiddikan al-Azhar dalam perkembangannya melalui periode-periode dalam
kekuasaan khalifah, antara lain:
1.
Masa Dinasti
Fathimiyah (361-567 H/972-1171 M)
Al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah
merupakan alat dan tunggangan politik kekhalifahan, sekaligus penyebaran
doktrin ajaran syiah. Pada masa itu sistem pengajaran terbagi menjadi empat
kelas, yaitu:
Pertama, kelas
umum yang diperuntukan bagi orang yang datang ke al-Azhar untuk mempelajari
al-Quran dan penafsirannya. Kedua, kelas para mahasiswa Universitas
al-Azhar kuliah dengan para dosen yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan
dan mengkaji jawabannya. Ketiga, kelas Darul Hikam, kuliah formal ini
diberikan oleh para mubalig seminggu sekali pada hari Senin yang dibuka untuk
umum dan pada hari Kamis dibuka khusus untuk mahasiswa pilihan. Keempat, kelas
nonformal, yaitu kelas untuk pelajar wanita.[16]
Pada masa al-Aziz, al-Azhar juga dilengkapi
dengan asrama untuk para fuqaha’ (dosen, tenaga pendidik) serta semua urusannya
ditanggung oleh Khalifah.[17]
2.
Masa
Dinasti Ayyubiyah (567-648 H/1171-1250 M)
Ketika kekuasan beralih dari Dinasti
Fathimiyah ke Dinasti Ayyubiyah,
al-Azhar mengalami banyak perubahan dengan pergantian para penguasa di negeri
tersebut. Sebenarnya tidak banyak dapat diceritakan tentang al-Azhar dibawah
kerajaan Ayyubiyah sebab semenjak kerajaan itu berdiri menggantikan kerajaan
Fathimiyah ditutupnya al-Azhar baik segi masjid untuk sholat jum’at ataupun
sebagai universitas. Alasanya cukup kuat, sebsb kerajaan Fathimiyah
mempropagandakan mazhab syiah, dimana al-Azhar sebagai media utamanya. sedang
Sholahuddin al-Ayyubi dan seluruh penguasa dikerajaan Ayyubiyah adalah
bermazhab Sunni. tepatnya mazhab Syafi’i.[18]
Tetapi tertutupnya al-Azhar bagi kegiatan-kegiatan agama dan pendidikan tidak
berarti kerajaan Ayyubiyah tidak memiliki kegiatan agama dan pendidikan.
Sholahuddin al-Ayubbi membuka madrasah sebagai sarana perkuliahan, cuma
sekarang tidak dibawah nauangan al-Azhar. Jadi usaha kerajaam Ayyubiyah ini
bertujuan melemahkan pengaruh syi’ah yang selama ini dipelopori oleh al-Azhar
di kota Cairo sendiri tidak kurang dari 25 kuliah (tahap universitas) didirikan
oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kuliah-kuliah itu yang terkenal adalah Manazil
al-‘Iz, al-Kulliyah al-Adiliyah, al-Kulliyah al- Arsufiyah, al-Kulliyah
al-Fadiliyah, al-Kulliyah Azkasyiyah, dan al-Kulliyah al-Asyuriah.[19]
3.
Masa
Dinasti Mamalik (648-923 H/1250-1517 M)
Sejak satu abad al-Azhar ditutup lebih
tepatnya 98 tahun[20]
pada masa kekhalifahan Solahuddin al-Ayyubi, dan kira-kira dari pemerintahan
Dinasti Mamalik. Pada tahun 665 H seorang Amir mengajukan kepada sultan
al-Zahir Baibars untuk membuka kembali al-Azhar tempat untuk shalat Jum’at,
ternyata usulannya diterima dan disambut baik oleh Baibars. Sejak itu, al-Azhar
dibuka kembali yang sebelumnya hamper satu abad ditutup, sedangkan
pendaanaannya dibiayai oleh Amir dari uang pribadinya untuk perbaikan masjid
itu.[21]
Semenjak saat itulah al-Azhar menempati kembali
kedudukanyang pernah dipunyainya dibawah Dinasti Fatimiyah, yaitu
sebagai lembaga agama dan pendidikan. Semenjak itu pula ulama-ulama dari
seluruh penjuru dunia Islam berkunjung ke Mesir untuk belajar dan mengajar di
al-Azhar.
Diantara ulama-ulama terkenal baik dari luar
Mesir yang datang ke al-Azhar maupun ulama-ulama dari Mesir sendiri, yang dalam
sejarah Mesir belum pernah berkumpul begitu banyak ilmuan dan ulama dalam berbagai
bidang dalam suatu waktu. Diantara nama-nama itu, antara lain:
a)
Ibnu
Khaldun (w. 808 H/1406 M).
b)
Abu
al-Abbas Ahmad al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M).
c)
Taqiyuddin
Ahmad al-Magrizi (w. 645 H/1441 M).
d)
Ibn Hajar
al-Asqallani (w. 852 H/1448 M).
e)
Badruddin
Mahmud al-‘Aini (w. 855 H/1451 M).
f)
Sirajuddin
al-Balqimi (w. 868 H/1464 M).
g)
Syarifuddin
al-Mennawi (w. 871 H/1467 M).
h)
Abu
al-Mahasin bin Taghi Bardi (w. 874 H/1470 M).
i)
Syamsuddin al-Sakhawi (w. 902 H/1497 M).
j)
Jalaluddin
al-Suyuti (w. 911 H/1505 M).
k)
Muhammad
bin Ahad bin Ilyas (w. 930 H/1523 M).[22]
C.
Metode
dan Kurikulum Pendidikan
Pada
mulanya pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan institusi pendidikan
yang lain, yaitu sistem ber-halaqah (melingkar); seorang pelajar bebas
memilih guru dan dan pindah sesuai dengan kemauan. Umumnya guru atau syaikh
yang mengajar itu duduk bersama para pelajar, tetapi kadang guru duduk dikursi ketika
menerangkan kitab yang diajarkannya. Disamping itu, metode diskusi sangat
dikembangkan sebagai metode dalam proses pembelajaran antar pelajar, seorang
guru hanya berperan sebagai fasilitator dan memberikan penajamandari materi
yang didiskusikan.[23]
Pada
masa Fatimiyah, materi pelajaran yang diberikan di al-Azhar, disamping tentang
ke-Fatimiyah-an, juga dipelajari ilmu naqliyah atau Syar’iyyah,
antara lain: Ilmu Tafsir, Qira’at, Ilmu Hadits, Fikih, Ilmu Kalam, Nahwu,
Lughat,al-Bayan, dan adab. Sedangkan ilmu
aqliah, antara lain: Filsafat, Arsitektur, Nujum, Musik, kedokteran, sihir,
sejarah dan geografi.[24] Diantara
ulama yang turut belajar di al-Azhar pada masa ini adalah:
1.
Hasan ibn
Ibrahim, yang lebih dikenal dengan Ibnu Zulaq (w. 387 H). Karena
kecerdasaannya, ia diberi penghargaan untuk menjadi tenaga kerja di al-Azhar.
Diantara karangannya adalah Kitab Fadhailu Mishr, Kitab Qudhatu Mishr,
al-’Uyun al-Da’j.
2.
Al-Amir
al-Mukhtar ‘Izzul Mulk Muhammad ibn Abdillah (w. 450 H). Ia seorang pakar dalam
bidang politik, administrasi, dan sejarah. Diantara karyanya adalah Kitab
al-Tarikh al-Kabir, yang dikenal dengan Tarikh Mishr.
3.
Abu
Abdillah al-Qudha’I (w. 454 H). Diantara karyanya adalah Manaqib al-Imam
al-Syafi’i.
4.
Abu Ali
Muhammad ibn al-Hasan ibn al-Hitsam(w.436 H). Ia ilmuan dalam bidang teknik dan
filsafat, dan matematika.[25]
Pada
masa Ayyubiyah semua kegiatan di al-Azhar ditutup, karena menganut mazhab yang
berbeda, maka hak-hak yang telah diberikan Dinasti Fatimiyah dihentikan pada
masa Dnasti Ayyubiyah, diantaranya pencabutan hak menyampaikan khutbah.[26]
Di dalam buku Salaby (1954) ada disebutkan sekolahan-sekolahan termasuk di
Mesir, Jarusaalem, Damsyik, dan lain-lain, malahan termasuk juga
sekolah-sekolah ikhtisas seperti kedokteran.[27]
Pada
masa Mamalik, sistem pembelajaran di al-Azhar adalah para mahasiswa diberi
kebebasan memilih mata kuliah yang dipelajarinya, sesuai dengan disiplin ilmu
yang dikuasai oleh masing-masing dosen. bagi mahasiswa yang sudah menyelesaikan
kuliahnya kepada seorang dosen, maka ia akan diberi syahadah (ijazah),
yang berisi nama mahasiswa, dosen, mazhab, dan tanggal ijazah dikeluarkan.
Diantara
ulama yang bertugas di al-Azhar pada masa Mamalik adalah:
1.
Ali Ibn
Yusuf Ibn Jarir al-Lakhmi (W. 713 H/1313 M), sebagai dosen dalam penelitian.
2.
Qiwamuddin
al-Kirmani, sebagai dosen dalam ilmu fikih dan ilmu qira’at.
3.
Syamsuddin
al-Ashbahani, sebagai dosen dalam bidang pemikiran.
4.
Syarifuddin
al-Zawawi al-Maliki.
5.
Qunbur ibn
Abdillah al-Sibziwani (W. 801 H), sebagai dosen dalam ilmu-ilmu aqliyah.
6.
Badruddin
Muhammad ibn Abi Bakar al-Dimamaini (W. 827 H/1424 M), sebagai dosen dalam ilmu
nahwu, nujum, dam fikih.[28]
Demikianlah
al-Azhar di masa kejayaannya. Sebagai sebuah universitas pertama di dunia. yang
mencetak ilmuwan-ilmuwan dan ulama-ulama Muslim. Sebuah kesatuan ilmu pengetahuan
yang barang kali belum bisa dicapai umat Muslim setelahnya sampai saat ini.
D.
Kemajuan
dan kemundurannya
Kemajuan
pada masa Fatimiyyah, antara lain: Pertama, khalifah dan wazir memperbanyak buku ilmu
pengetahuan sehingga perpustakaan istana menjadi perpustakaan yang terbesar
pada masa itu, yang diberi nama “Dar al-Ulum” yang berisi 600.000
jilid buku. Kedua, Mendirikan jamiah ilmiah akademik (lembaga riset)
pada tahun 309 H, bangunan yang disebut rumah kebijaksanaan (Bait al-Hikmah)
para mahasiswa bebas memimjam dan menyalin buku yang diinginkan[29]
dan para mahasiswa tanpa harus sibuk mencari rezeki, sebab semuanya sudah
dijamin pemerintah.
Pada
masa Ayyubiyyah, walaupun segala aktivitas al-Azhar ditutup, tetapi khalifah
Ayyubiah mendirikan madrasah-madrasah yang menjadi pusat studi Islam yang amat
penting, karena al-Azhar sebagai induk madrasah yang tidak ada rifalnya
dimanapun, para ulma dari berbagai Negara mengunjungi al-Azhar untuk belajar.
Pada
masa Mamalik, kebijaksanaan dan perhatian pemerintah terhadap al-Azhar sangat
kondusif untuk pengembangan al-Azhar sebagai perguruan tinggi. Diantaranya
mendapatkan wakaf dari para sultan dan umara yang tujuannya ilmu pengetahuan.
Harta wakaf sampai saat ini digunakan untuk membayar gaji para dosen dan
karyawan, pemberian beasiswa baik dari dalam maupun dari luar.[30]
Prof
Dr. Azyumardi Azra berpendapat, sebagai sebuah perguruan tinggi yang sudah
berusia tua, al-Azhar pun mengalami pasang dan surut dalam perkembangannya.
sejak Dinasti Usmani (1517-1798 M) pamor al-Azhar mulai menurun , sehimgga
menjadi alasan kuat bagi penguasa pembaru seperti Muhammad Ali untuk campur
tangan lebih jauh dalam pembenahan al-Azhar sejak paroan pertama abad ke-19.
Kenyataan inilah yang menjadi preseden lenyapnya independensi al-Azhar sebagai
lembaga akademis, yang pada gilirannya mempengaruhi otoritas atau
kewibawaannya, khususnya dalam kekuasaan politik, hingga dewasa ini.[31]
Stagnasi keilmuwan yang terjadi kurang lebih
200an tahun tentu membuat ilmu pengetahuan aqliyah umat Islam tertinggal jauh. Stagnasi
yang terus berlanjut hingga beberapa puluh tahun hingga sampailah pada masa
kepemimpinan Muhammad Ali, seorng perwira Turki, yang berhasil menjadi penguasa
tunggal Mesir setelah berhasil mengusir tenara Perancis. Dilanjutkan dengan
perjuangan Muhammad Abduh, yang melakukan perubahan karena berangkat
ketertarikan terhadap pemikiran Jamaluddin al-Afghani, dan akhirnya Muhammad
Abduh Abdullah Nadzim dan beberapa alumni al-Azhar lain melakukan gerakan
pembaharuan.
Ridwan Sayyed membagi
kemodern-an al-Azhar ke dalam 3 fase, yakni fase Muhammad Abduh, Fase Abad 20
dan Fase 21. Pada fase Muhammad Abduh merupakan fase rintisan yang telah
dilakukan al-Azhar dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan
dan rasionalisasi pendidikan Islam.[32] Muhammad
Abduh memandang perlunya integrasi pendidikan Islam dengan pendidikan umum.
Beliau menganggap perlunya diajarkan ilmu pengetahuan modern di al-Azhar, di
samping memperkuat ilmu-ilmu agama.[33] Hasil
dari perjuangan beliau, maka pada masa ini mulai dimasukkan kurikulum modern,
seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah. Di samping masjid
didirikan Dewan Administrasi al-Azhar (‘idarah al-Azhar) dan diangkat
beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syaikh. Juga dibangun
Rauq al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemondokan untuk guru dan
mahasiswa.[34]
Kedua, fase abad ke- 20.
Pada fase ini, al-Azhar sudah memulai
untuk mengintegrasikan diri dengan pemerintah. Al-Azhar juga mulai beradaptasi
dengan menjawab beberapa isu kontemporer dalam kaitan
dengan isu modern dan modial. Pada masa ini pendidikan menjadi 4 jenjang, (1)
pendidikan rendah selam 4 tahun; (2) pendidikan menengah selama 5 tahun; (3)
pendidikan Tinggi selama 4 tahun; (4) Pendidikan Tinggi Keterampilan selama 5
tahun.[35]
Ketiga, fase abad 21. Pada
fase ini, al-Azhar secara ekspisit menjadikan dirinya sebagai gerakan moderat.
Salah satu tuntunan yang harus segera diimplementasikan adalah ijtihad dan
pengaturan metodologi konklusi hukum, yang memadukan antara teks-teks klassik
dengan perangkat-perangkat pengetahuan modern. Pada fase ini, al-Azhar mulai
mempelajari sistem penelitian yang dilakukan universitas barat, dan mengirim
alumni terbaiknya ke Eropa dan Amerika.
E.
Pembaharuan
Al-Azhar
Pada abad ke-21 ini, Al Azhar
mulai memandang perlunya mempelajari sistem penelitian yang
dilakukan oleh Universitas di Barat, dan mengirim Alumni terbaiknya untuk
belajar ke Eropa dan Amirika. Tujuan mengirim ini adalah untuk mengikuti
perkembangan ilmiah di tingkat internasional
sekaligus upaya perbandingan dan pengukuhan pemahaman Islam yang benar.
Cukup banyak duta Al Azhar yang berhasil meraih gelar Ph.D dari Universitas
luar tersebut, diantaranya ialah: Syekh DR. Abdul Halim Mahmud, Syekh DR.
Muhammad Al Bahy.
[36]
Sebelumnya, pada
tahun 1930 M, keluar undang undang no 49 yang mengatur Al Azhar mulai dari
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan membagi Universitas Al Azhar
menjadi tiga fakultas yaitu: Syari’ah, Usuluddin, Bahasa Arab. Fakultras induk
Syari’ah wal qonun di Cairo merupakan bangunan pertama yang berdiri pada tahun
1930 M. semula berama Syari’ah, lalu pada tahun 1961 dirubah menjadi nama
seperti sekarang. Fakultas induk Usuluddin dan bahasa Arab di Kairo juga
didirikan pada tahun 1930 M. penjurusan diatur kembali pada tahun 1961 M.
fakultas Dakwah islamiyyah didirikan dengan keputusan presiden (keppres) no 380
tahun 1978 yang dikeluarkan pada 16 Ramadlon 1398 H. (20 Agustus 1978).
Fakultas Dirasah Islamiyah wal
Arabiyah memulai kuliahnya pada tahun 1965 M. sebagai salah satu jurusan dari
Fakultas Syari’ah. Pada tahun 1972 keluar keppres no 7 yang menjadikan fakultas
ini sebagai lembaga tersendiri dengan nama Ma’had Dirasat Al Islamiyah Wal
Arabiyah (Institut of Islamic and Arabic studies) namun pada tahun 1976
M. keluar keputuhan presiden nomor 299 yang kembali menjadikan institut ini sebagai fakultas
tersendiri, dengan jurusan: Usuluddin Syari’ah Islamiyah Bahasa dan Sastra Arab.[37]
Angin pembaharuan kembali
berhembus di Al Azhar pada 5 mei 1961 M. dimasa kepemimpinan Syekh Mahmoud
Syalthout. Peran Syaikh Al Azhar diciutkan menjadi jabatan simbolis sehingga
kurang mempunyai pengaruh langsung terhadap lembaga pendidikan yang ada dibawah
pimpinannya. Undang-undang pembaharuan ini disebut undang-undang revosusi Mesir nomor 103
tahun 1961 M. Undang-undang ini memberikan kemungkinan besar perubahan
structural pendidikan di Al Azhar, sehingga diantaranya membolehkan
lulusan SD atau SMP Al Azhar untuk melanjutkan studinya ke SMP atau SMA milik
Departemen pendidikan, atau sebaliknya. Dalam ruang lingkup pendidikan tinggi,
disamping fakultas-fakultas keislaman, ditambahkan pula berbagai fakultas baru
seperti: Tarbiyah, Kedokteran, Perdagangan/Ekonomi, Sains, Pertanian, Teknik,
Farmasi, dan sebagainya. Juga dibangun fakultas khusus putrid (Kulliyatu al-Banat) dengan berbagai
jurusan.
Al Azhar mempunyai 3 rumah
sakit Universitas: Husein Hospital, Zahra’ Hospital, dan Bab el Sya’riah
Hospital. Sementara itu, Nasser Islamic Mission City (Madinat Nasser Lil
Bu’uts Al-Islamiyah) untuk orang asing dibuka pada bulan September 1959 M.
Universitas (Jami’ah)
Al Azhar hanyalah salah satu lembaga resmi yang dimiliki Al Azhar masih ada
lembaga lain yang sempat terbentuk, seperti:
1.
Lembaga pendidikan Dasar dan
Menengah (Al Ma’ahid Al-Azhariyah).
2.
Biro Kebudayaan dan missi
Islam (Idarah Ats-tsaqofah wal Bu’uts Al-Islamiyah).
3.
Majlis tinggi Al Azhar (Al-Majlis Al-A’la Lil Azhar)
4.
Lembaga Riset Islam (Majma’
Al-Buhuts Al-Islamiyah).
5.
Hai’ah Ighatsah Al-Islamiyah.
Sejak
mula berdirinya, studi Al-Azhar selalu terbuka untuk semua pelajar dari seluruh
dunia, hingga kini Universitas Al-Azhar memiliki lebih dari 50 Fakultas yang
tersebar diseluruh pelosok Mesir dengan jumlah Mahasiswa/i melebihi angka 200
ribu orang. Itulah
potret Al-Azhar yang tetap tegar dalam kurun usia senja.
Demikian
banyak perkembangan yang dialami al-Azhar, namun tidak sejalan dengan sistem
pendidikan dan birokrasi di al-Azhar. Berbeda dengan kebanyakan universitas
lain yang sudah memberlakukan sistem modern dan canggih, al-Azhar al-Syarif
hingga kini masih eksis dengan sistem klasiknya. Al-Azhar menerapkan sistem
pendidikan dengan jenjang empat tahun. Tidak adanya absensi di semua tingkat
kuliah layaknya universitas-universitas lain, kecuali beberapa tingkat saja.
Mahasiswa di sini begitu bebas dalam perkuliahan, hal ini memang terlihat rancu
dan kurang kondusifnya sistem pembelajaran di al-Azhar.
Kendati
demikian, ada filosofi yang harus diketahui di balik sistem klasik al-Azhar.
Al-Azhar al-Syarif benar-benar mendidik seorang pencari ilmu untuk mencari
bukan dicari, untuk menunggu bukan ditunggu dan untuk mengambil bukan diambil,
hal ini sesuai arti mahasiswa dalam bahasa Arab “talib” yang diambil
dari kata “talaba-yatlubu” yaitu mencari. Al-Azhar mendidik para
mahasiswanya untuk mencari ilmu di setiap sudut negeri ini. Karena al-Azhar
sesungguhnya adalah sebuah masjid di mana terdapat halakah-halakah ilmu. Di
sana diajarkan berbagai macam bidang ilmu yang tidak didapatkan di bangku
kuliah, terlebih ilmu-ilmu turats (klasik).
Al-Azhar
pun terkenal dengan sistem sanad (riwayat), di mana seorang murid
mengambil sebuah ilmu langsung dari gurunya dengan bertatap muka dan tentunya
para murid pun diuji seberapa jauh ia menguasi ilmu tersebut. Sistem ini ternyata
sudah ada semenjak Rasulullah SAW dan dipraktikkan oleh para Sahabat dan ulama
sesudahnya. Sistem sanad ini pulalah yang menjadikan kelimuan Islam tetap
terjaga dari masa ke masa.
Hal
menarik lain dari al-Azhar adalah sistem administrasi yang masih manual. Tidak
seperti universitas di Indonesia yang sudah memakai komputer dan alat canggih
lainnya. Di al-Azhar, administrasi masih menggunakan tulisan tangan. Hal ini
pula yang membuat para mahasiswa harus mengantre panjang, bahkan harus menunggu
berhari-hari untuk menyelesaikan administrasi kuliah. Tapi hal itu tidak
membuat para mahasiswa surut dan malas. Banyak di antara mereka yang sabar
menunggu bahkan, menurut sebagian
mereka, ini merupakan pembelajaran agar
sabar dalam segala hal.
Begitu
juga dengan ruang kuliah, al-Azhar masih menggunakan meja dan bangku panjang
yang bisa diduduki sekitar lima sampai tujuh orang, yang seharusnya mahasiswa
duduk sendiri-sendiri layaknya perkuliahan lain. Al-Azhar bukannya tidak mampu
untuk membeli komputer ataupun meja dan bangku layaknya sebuah universitas,
tapi inilah sifat kesederhanaan yang diajarkan oleh al-Azhar kepada para
mahasiswanya.
Al-Azhar
menggunakan sistem paket, jadi nilai mata kuliah yang diujikan ketika semester
ganjil dan genap disatukan. Bagi mereka yang membawa lebih dari dua mata
kuliah, akan mengulang selama setahun di kelas yang sama dengan mata kuliah
yang ia bawa. Sedangkan mereka yang membawa satu atau dua mata kuliah, ia tetap
naik kelas dan hanya diuji ulang mata pelajaran tersebut tanpa mengulang satu
tahun di kelas yang sama.
Di
sinilah terlihat ketatnya sistem ujian dan penialan di al-Azhar. Hal ini tidak
lain karena al-Azhar ingin mengajarkan kepada para mahasiwanya sebuah
kesungguhan dalam belajar dan mencari ilmu.
F.
Kontribusi
Al-Azhar untuk Indonesia
Jasa
terpenting al-Azhar bagi kemajuan umat Islam adalah di bidang pengetahuan,
pendidikan dan kebudayaan. Sejak pemerintahan Dinasti Fatimiyyah, Kairo telah
menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan ilmiah dunia Islam. Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tinggi
saat ini, telah banyak melahirkan ulama yang tak dapat diragukan lagi dari
aspek keilmuwannya, dan telah menyumbangkan khazanah keilmuwan terutama
keislaman. Diantaranya adalah Imam Subkhi, Jalaluddin as-Suyuti, al-Hafidz Ibnu
Hajar al-Atsqolani.
Bidang
ilmu pengetahuan adalah bidang yang paling dominan pengaruhnya, termasuk di
Indonesia sendiri. Transmisi keilmuwan al-Azhar ke Indonesia, pada periode
kontemporer, mengalir setidaknya pada tiga jalur. Pertama, kepulangan mahasiswa dari sana yang
kemudian sedikit banyak menularkan ilmu yang diperolehnya, baik melalui
aktifitas mengajar, menulis buku atau artikel di media. Kedua, masuknya
buku-buku karya pemikir Timur Tengah, khususnya al-Azhar yang dibawa oleh
mahasiswa dan alumni maupun tenaga kerja ynag meskipun tidak tersebar luas
tetapi kemudian banyak diterjemahkan dan banyak beredar di tanah air. Ketiga,
kedatangan para da’i dan guru dari al-Azhar, baik atas undangan orang
Indonesia, maupun inisiatif sendiri. Lulusan-lulusan al-Azhar tak hanya disebar
ke Indonesia saja, akan tetapi juga negara-negara Muslim di seluruh dunia.
Dari
ketiga faktor yang dipaparkan di atas, faktor pertamalah yang dominan. Hal ini
dikarenakan dalam aktifitas pendidikan inilah ada proses mengkonstruk maupun
merekonstruk pemikiran seseorang. Bagaimana seorang pendidik memiliki peranan
penting dalam membuka wacana, mengenalkan bahkan mendoktrin siswa. Apalagi jika
dipadukan dengan posisi penting dalam dunia pendidikan maupun pemerintahan. Tentunya
akan mudah sekali bagi sosok tertentu untuk mentransmisi keilmuwan dari
al-Azhar.
Setidaknya
peran transmisi, alumni al-Azhar memiliki peranan yang dapat dibedakan menjadi
tiga yakni kelompok dosen dan ustadz, muballigh atau pembicara, dan penulis.
Corak
pemikiran yang dibawa oleh alumni
al-Azhar secara garis besar dibagi menjadi tiga, kelompok revivalis,
kelompok tradisionalis, dan kelompok reformis.
Kesimpulan
Awal dari unversitas baik
az-Zaitunah maupun al-Azhar merupakan sebuah masjid, namun pada perkembangannya
berubah menjadi universitas tertua di dunia. Hal ini merupakan bukti historis
sebagai produk kemajuan peradaban Islam di afrika utara, baik itu Tunisia
maupun Mesir. Banyak ulama-ulama yang berasal dari kedua universitas itu,
seperti Ibnu Khaldun, Abu Ali Muhammad, Abdilldh al-Qudha’I, Hasan bin Ibrahim,
dan masih banyak lagi para ulama-ulama lainnya.
Universitas ini juga sangat
perperan dalam kemajuan ilmu pengetahuan, terlebih ilmu-ilmu keislaman yang di
kunjungi oleh para muslim dunia yang ingin belajar disana dari dahulu sampai
sekarang.
Daftar
Pustaka
Munir Samsul. 2010. Sejarah Peradaban Islam.
Cet. 2. Jakarta: Amzah.
Langgulung Hasan. 2001. Pendidikan Islam
dalam Abad ke 21. Cet. ke-2. Jakarta:
Radar Jaya Offset.
https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Zaitunah.
Diakses jam 20.00, tgl 1
april 2016.
http://muminatus.blog.com/kilas-balik-universitas-zaituna/. Diakses jam 20.00, tgl 1 april 2016.
Nata Abuddin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam
(Pada Priode Klasik dan Pertengahan). Cet. 1. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Suwito. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam.
Cet. 1. Jakarta: Kencana.
Azra Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam
Tradisi dan Modernisasai Menuju Melenium Baru. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Misrawi Zuhairi. 2010. Al-Azhar: Menara
ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan. Jakarta: Kompas.
Assegaf Abd. Rachman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
[1] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah,
2010), Cet. 2, hlm. 125.
[2] Ibid, hlm.126.
[3] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad ke 21,
(Jakarta: Radar Jaya Offset, 2001), Cet. ke-2, hlm. 18.
[5] http://muminatus.blog.com/kilas-balik-universitas-zaituna/.
Diakses jam 20.00, tgl 1 april 2016.
[6] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Pada Priode Klasik dan
Pertengahan), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. 1, hlm. 89.
[7] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah fi
al-Maghribi, Mishr, Suriah wa al-Biladi al-Arab, (Mesir, 1957, Cet. ke-2),
hlm. 426. Dikutip dari Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kencana,2005), Cet. 1, hlm. 122.
[8] Samsul Munir, Op. Cit, hlm. 254.
[9] Suwito, Op. Cit, hlm. 122.
[10] Samsul Munir, Op. Cit, hlm. 257.
[11] Ibid, hlm. 258.
[12] Suwito, Op. Cit, hlm. 123.
[13] Ibid, hlm. 124.
[14] Abuddin Nata, Op.Cit, hlm. 90.
[15] Suwito, Op. Cit, hlm. 124.
[16] Abuddin Nata, Op. Cit, hlm. 91.
[17] Ibid, hlm. 92.
[18] Hasan Langgulung, Op.Cit, hlm. 43.
[19] Ibid, hlm. 43.
[20] Ibid, hlm. 44.
[21] Abuddin Nata, Op. Cit, hlm. 94.
[22] Hasan Langgulung, Op. Cit, hlm.45.
[23] Abuddin Natan, Op. Cit, hlm. 96.
[24] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah fi
al-Maghribi, Mishr, Suriah wa al-Biladi al-Arab, (Mesir, 1957, Cet. ke-2),
hlm. 436. Dikutip dalam, Suwito, Op. Cit, hlm. 131.
[25] Al-Azhar al-Syarif, Al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li
al-Kitab, hlm. 67. Dikutip dalam, Ibid, hlm.183.
[26] Hamid Hasan, Ali Asyaraf, Konsep Pendidikan Islam,
(Yokyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm. 41. Dikutip dalam, Abuddin Natan, Op.
Cit, hlm.93.
[27] Hasan Langgulung, Op. Cit, hlm. 38.
[28] Suwito, Op. Cit, 183-184.
[29] Ibid, hlm. 130.
[30] Ibid, hlm. 182.
[31] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasai Menuju
Melenium Baru, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 243-244. Dikutip
dalam, Ibid, hlm. 182.
[32] Zuhairi Misrawi, al-Azhar:
Menara ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (Jakarta: Kompas, 2010), hlm.
318.
[33] Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 170.
[34] Abuddin Nata, Op.
Cit, hlm. 192.
[35] Ibid, hlm.
379.
[36] Antonio,
Ensiklopedi., 162.
[37] Ibid.
ASSALAMUALAIKUM SAYA INGIN BERBAGI CARA SUKSES SAYA NGURUS IJAZAH saya atas nama bambang asal dari jawa timur sedikit saya ingin berbagi cerita masalah pengurusan ijazah saya yang kemarin hilang mulai dari ijazah SD sampai SMA, tapi alhamdulillah untung saja ada salah satu keluarga saya yang bekerja di salah satu dinas kabupaten di wilayah jawa timur dia memberikan petunjuk cara mengurus ijazah saya yang hilang, dia memberikan no hp BPK DR SUTANTO S.H, M.A beliau selaku kepala biro umum di kantor kemendikbud pusat jakarta nomor hp beliau 0853-2174-0123, alhamdulillah beliau betul betul bisa ngurusin masalah ijazah saya, alhamdulillah setelah saya tlp beliau di nomor hp 0853-2174-0123, saya di beri petunjuk untuk mempersiap'kan berkas yang di butuh'kan sama beliau dan hari itu juga saya langsun email berkas'nya dan saya juga langsun selesai'kan ADM'nya 50% dan sisa'nya langsun saya selesai'kan juga setelah ijazah saya sudah ke terima, alhamdulillah proses'nya sangat cepat hanya dalam 1 minggu berkas ijazah saya sudah ke terima.....alhamdulillah terima kasih kpd bpk DR SUTANTO S.H,M.A berkat bantuan bpk lamaran kerja saya sudah di terima, bagi saudara/i yang lagi bermasalah malah ijazah silah'kan hub beliau semoga beliau bisa bantu, dan ternyata juga beliau bisa bantu dengan menu di bawah ini wassalam.....
ReplyDelete1. Beliau bisa membantu anda yang kesulitan :
– Ingin kuliah tapi gak ada waktu karena terbentur jam kerja
– Ijazah hilang, rusak, dicuri, kebakaran dan kecelakaan faktor lain, dll.
– Drop out takut dimarahin ortu
– IPK jelek, ingin dibagusin
– Biaya kuliah tinggi tapi ingin cepat kerja
– Ijazah ditahan perusahaan tetapi ingin pindah ke perusahaan lain
– Dll.
2. PRODUK KAMI
Semua ijazah DIPLOMA (D1,D2,D3) S/D
SARJANA (S1, S2)..
Hampir semua perguruan tinggi kami punya
data basenya.
UNIVERSITAS TARUMA NEGARA UNIVERSITAS MERCUBUANA
UNIVERSITAS GAJAH MADA UNIVERSITAS ATMA JAYA
UNIVERSITAS PANCASILA UNIVERSITAS MOETOPO
UNIVERSITAS TERBUKA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
UNIVERSITAS TRISAKTI UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
UNIVERSITAS BUDI LIHUR ASMI
UNIVERSITAS ILMUKOMPUTER UNIVERSITAS DIPONOGORO
AKADEMI BAHASA ASING BINA SARANA INFORMATIKA
UPN VETERAN AKADEMI PARIWISATA INDONESIA
INSTITUT TEKHNOLOGI SERPONG STIE YPKP
STIE SUKABUMI YAI
ISTN STIE PERBANAS
LIA / TOEFEL STIMIK SWADHARMA
STIMIK UKRIDA
UNIVERSITAS NASIONAL UNIVERSITAS JAKARTA
UNIVERSITAS BUNG KARNO UNIVERSITAS PADJAJARAN
UNIVERSITAS BOROBUDUR UNIVERSITAS INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH UNIVERSITAS BATAM
UNIVERSITAS SAHID DLL
3. DATA YANG DI BUTUHKAN
Persyaratan untuk ijazah :
1. Nama
2. Tempat & tgl lahir
3. foto ukuran 4 x 6 (bebas, rapi, dan usahakan berjas),semua data discan dan di email ke alamat email bpk sutantokemendikbud@gmail.com
4. IPK yang di inginkan
5. universitas yang di inginkan
6. Jurusan yang di inginkan
7. Tahun kelulusan yang di inginkan
8. Nama dan alamat lengkap, serta no. telphone untuk pengiriman dokumen
9. Di kirim ke alamat email: sutantokemendikbud@gmail.com berkas akan di tindak lanjuti setelah pembayaran 50% masuk
10. Pembayaran lewat Transfer ke Rekening bagian blangko ijazah.
11. PENGIRIMAN Dokumen Via JNE
4. Biaya – Biaya
• SD = Rp. 1.500.000
• SMP = Rp. 2.000.000
• SMA = Rp. 3.000.000
• D3 = 6.000.000
• S1 = 7.500.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
• S2 = 12.000.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
• S3 / Doktoral Rp. 24.000.000
(kampus terkenal – wajib ikut kuliah beberapa bulan)
• D3 Kebidanan / keperawatan Rp. 8.500.000
(minimal sudah pernah kuliah di jurusan tersebut hingga semester 4)
• Pindah jurusan/profesi dari Bidan/Perawat ke Dokter. Rp. 32.000.000