Monday, 22 August 2016

IMPLIKASI IDEALISME PEMUDA DAN REALISME ORANG TUA DALAM KEMASYARAKATAN


A. PENDAHULUAN
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat ekstensial artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi motor penggerak kehidupan sehari-hari sebagai manusia individual maupun manusia sosial dalam bentuk suatu kemasyarakatan.
Dengan adanya filsafat, manusia dimungkinkan dapat melihat kebenaran tentang sesuatu di antara kebenaran yang lain. Hal ini membuat manusia mencoba mengambil pilihan, di antara alternatif yang ada saat ini, sehingga manusia mampu menghadapi masalah-masalah yang ada dan belajar untuk menjadi bijaksana.
Disamping itu filsafat memberikan petunjuk dengan metode pemikiran reflektif agar kita dapat menyerasikan antara logika, rasa, rasio, pengalaman dan agama untuk pemenuhan kebutuhan yang sejahtera.
Dalam kehidupan sosial banyak sekali problem-problem yang di hadapi, salah satunya idealisme pemuda yang cenderung dengan pandangan yang sesuai dengan keinginnannya. Sedangkan dalam pihak lain orang tua yang cenderung dengan realismenya, yang hanya melihat realita dalam kesehariannya.
Oleh karena itu, perlu adanya pemecahan dalam mengahadapi problem-problem yang ada dalam kemasyarakatan dengan bijaksana menggunakan filsafat. Dengan menggunakan cara kerjanya yang sistematis, universal, dan radikal yang mengupas, menganalisa sesuatu secara mendalam,[1] ternyata filsafat sangat relevan dengan segala problematika hidup dan kehidupan  manusia  serta  mampu  menjadi  perekat  kembali  antara berbagai macam disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu dengan yang lain.
B. Idealisme
Filsafat idealisme berasal dari Plato, yaitu filsuf Yunani yang hidup pada tahun 427-347 SM. Sebagaimana akar kata idealisme itu sendiri awal mulanya berasal dari bahasa Yunani idea yang berarti pandangan   (vision)   ata kontemplasi.   Istila ini   pertama   kali digunakan secara filosofis oleh filosof dan matematikawan Jerman G. W. Leibniz pada awal abad ke-18 yang merujuk pada pemikiran Plato dan memperlawankannya dengan empirisisme.[2]
Sebagai sebuah aliran dalam filsafat, idealisme berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya.
Pemikiran filsafat menurut aliran idealisme adalah sebagai berikut:
1.    Ontologi Idealisme
Metafisika adalah cabang filsafat yang mempelajari atau membahas hakikat realitas (segala sesuatu yang ada) secara menyeluruh (komprehensif). Menurut Idealisme hanya realitas spiritual, mental atau rohani yang nyata dan tidak berubah. Karena dengan hakekat realitas yang bersifat rohani, jiwa, spiritual, individual dan ideal itulah yang kekal dan abadi. Alam semesta adalah ekspresi dari sebuah kecerdasan yang sangat umum dari pikiran  universal.[3] Bagi  penganut  idealisme,  realitas  diturunkan dari suatu substansi fundamental, adapun substansi fundamental itu  sifatnya  nonmaterial,  yaitu  pikiran, spirit dan roh.  Benda-benda yang bersifat material yang tampak nyata, sesungguhnya diturunkan dari pikiran, jiwa dan roh.
Menurut Plato, satu-satunya pengetahuan sejati adalah apa yang disebutnya sebagai episteme, yaitu pengetahuan tunggal dan tidak berubah sesuai dengan ide-ide abadi. Oleh karena itu, apa yang kita tangkapmelalui pancaindera hanya merupakan tiruan cacat dari ide-ide tertentu yang abadi. Hanya ide-ide itu saja yang bersifat nyata dan sempurna. Segala hal lainhanya tiruan dank arena itu tidak nyata dan tidak sempurna.[4]  
Menurut para filsuf idealisme bahwa manusia hakikatnya bersifat spiritual/kejiwaan. Menurut Plato, setiap manusia memiliki tiga bagian jiwa, yaitu nous (akal fikiran) yang merupakan bagian rasional, thumos (semangat atau keberanian), dan epithumia (keinginan, kebutuhan atau nafsu). Dari ketiga bagian jiwa tersebut akan muncul salah satunya yang dominan. Jadi, hakikat manusia bukanlah badannya, melainkan jwa/spiritnya, manusia adalah makhluk berfikir, mampu memilih atau makhluk yang memiliki kebebasan, hidup dengan suatu aturan moral yang jelas dan bertujuan.
Idealisme berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegensi. Termasuk dalam paham idealisme adalah spiritualisme, rasionalisme, dan supernaturalisme.
Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan  rohaniah,  meskipun  pada  kenyataannya  ada  realita  yang bersifat fisik tetapi sesunggunya kenyataan rohaniahlah yang lebih dapat berperan.
2.    Epistimologi Idealisme
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari atau membahas tentang hakikat pengetahuan. Menurut filsuf idealisme, proses mengetahui terjadi dalam pikiran, manusia memperoleh pengetahuan  melaluberfikir  dan  intuisi  (gerak  hati).  Beberapa filsuf percaya bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat kembali (semua pengetahuan adalah sesuatu yang diingat kembali). Sehinggga mengetahui adalah memikirkan lembali gagasan laten.
Tentang   teori   pengetahuan,   idealism mengemukakan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak  lengkap  karena  dunia hanyalah merupakan  tiruan  belaka, sifatnya maya yang menyimpang dari kenyataan sebenarnya.
Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang, sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat.
3.    Aksiologi Idealisme
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari atau membahas  tentang  hakikat  nilai.  Para  filsuidealisme  sepakat bahwa nilai bersifat mutlak dan abadi. Nilai-nilai yang abadi tersebut menurut Idealime Theistik berada pada Tuhan. Sedangkan Idealisme Pantheistik mengidentikan Tuhan dengan alam.
Untuk  mewujudkan  harmonisasi  dalam  kehidupan manusia, maka diatur dengan adanya kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika. Sehingga, menurut pandangan idealisme, nilai adalah absolut. Apa yang dikatakan baik, benar, salah, cantik atau jelek secara fundamental bersifat tetap, tidak berubah dari generasi ke generasi, tidak diciptakan manusia dan nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari alam semesta.
Plato mengemukakan bahwa kehidupan yang baik hanya mungkin terjadi dalam masyarakat yang baik dan ideal yang diperintah oleh “the Philosopher Kings”, yaitu kaum intelektual, para ilmuwan atau cendekiawan.[5]
Dia juga mengemukakan bahwa jika manusia tahu apa yang dikatakannya sebagai hidup baik, mereka tidak  akan  berbuat  hal-hal  yang  bertentangan  dengan  moral.
                                                              C. Realisme
Realisme adalah suatu aliran filsafat yang luas yang meliputi materialisme disatu sisi dan sikap yang lebih dekat kepada idealisme   objektif di pihak lain. Realisme adalah pandangan bahwa objek-objek indera adalah riil dan berada sendiri tanpa bersandar kepada pengetahuan lain atau kesadaran  akal.
Diketahuinya atau menjadi objek pengalaman, tidak akan mempengaruhi   watak sesuatu   benda atau mengubahnya. Benda-benda ada dan kita mungkin sadar dan kemudian tidak sadar akan adanya benda-benda tersebut, tetapi hal itu tidak mengubah watak benda-benda tersebut.   Benda-benda atau bojek memang mungkin memiliki hubungan dengan kesadaran, namun benda-benda   atau objek tersebut tidak diciptakan  atau diubah oleh kenyataan bahwa ia diketahui oleh subjek.[6]
Dalam pandangan realisme, realitas itu dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya objektif, tersusun atas materi dan bentuk serta berdasarkan hukum  alam.
Pemikiran filsafat menurut aliran Realisme adalah sebagai berikut:
1.    Ontologi Realisme
Dalam pengertian filsafat, realism berarti anggapan bahwa objek indera kita adalah  real. Benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita  ketahui,  atau  kita persepsikan atau ada  hubungannnya  dengan  pikiran  kita.[7]
Realisme menegaskan  bahwa sikap common sense yang diterima orang secara luas adalah benar, artinya bahwa bidang alam atau objek fisik itu ada, tak bersandar kepada kita, dan bahwa pengalaman kita tidak mengubah fakta benda yang kita rasakan.
Objek tidak dipengaruhi oleh adanya pengalaman subjek atau tidak adanya pengalaman subjek tentang benda tersebut. Jika aliran idealisme menekankan  akal atau jiwa sebagai realitas pertama, maka aliran realism cenderung untuk menganggap akal sebagai salah satu dari beberapa benda yang keseluruhannya dinamakan alam dan juga penekanan  bahwa dunia luar berdiri sendiri  dan tidak tergantung pada  subjek.  Perhatian diarahkan  bukan kepada akal yang memahami akan tetapi kepada realitas yang dipahami. 
Dengan demikian maka realisme   mencerminkan objektivisme yang mendasari dan menyokopng sains modern. Realisme menerima kenyataan bahwa dunia ini berbeda-beda tergantung kepada pengalaman maisng-masing subjek. Realisme bertentangan secara tajam dengan idealisme. Realisme   adalah juga sikap untuk menjaga subjek dari penilaiannya terhadap benda-benda, dengan membiarkan objek-objek berbicara sendiri kepada subjek. Realisme melukiskan dunia ini sebagaimana adanya dan tidak menurut keinginannya. Penekanannya, kepada dunia luar yang berdiri sendiri.
2.    Epistemologi Realisme
Dalam perspektif epistemologi maka aliran realisme hendak menyatakan bahwa hubungan   antara   subjek   dan   objek   diterangkan   sebagai   hubungan   dimana   subjek mendapatkan pengetahuan tentang objek murni karena pengaruh objek itu sendiri dan tidak tergantung oleh si subjek. Pemahanan subjek dengan demikian ditentukan atau dipengaruhi oleh objek.[8] Realisme berhubungan erat dengan kajian sains, karena objek   kajian   sain   hanyalah objek    yang   berada   dalam    ruang lingkup pengalaman di sinilah ialah pengalaman indera.[9]
3.    Aksiologi Realisme
Aspek aksiologis banyak berkaitan dengan bidang nilai.  Pertanyaan-pertanyaan dasarnya adalah apakah nilai itu bersifat absolut ataukah justru bersifat relatif ?  Masalah nilai menjadi sangat penting dalam konteks filsafat pendidikan. Dalam pendidikan tidak hanya berbicara mengenai proses transfer pengetahuan, melainkan juga   menyangkut penanaman nilai. Dalam kaitan dengan nilai, pandangan Realisme menyatakan bahwa   nilai bersifat absolut, abadi namun tetap mengikuti hukum alam yang berlaku.
Melalui konsep nilainya tersebut kelompok realis juga menyatakan bahwa     mata pelajaran  yang  dilaksanakn  disekolah  pada  intinya  adalah  untuk  menerangkan  realitas objektif dunia, sehingga studi-studi disekolah lebih banyak didasarkan pada kajian-kajian ilmu kealaman atau sains. Hal ini banyak dimaklumi mengingat bahwa melalui sains lah realitas itu tergelar secara objektif dan menantang manusia untuk memahaminya.
  D. Idealisme dan Realisme dalam masyarakat
1.    Idealisme
Kata Idealisme dalam filsafat memiliki artyang  berbeda  dengan  bahasa  sehari- hari. Menurut Idealisme   realitas terdiri dari ide-ide, fikiran-fikiran ,akal (mind), atau jiwa (selves) dan bukan benda material maupun kekuatan.[10] Idealisme menekankan mind lebih dahulu daripada materi. Akal adalah yang riil sedang materi adalah produk sampingan. Dengan demikan maka idealisme menganggap bahwa dunia pada dasarnya hanya sebuah mesin besar dan harus ditafsirkan  sebagai  materi  atau  kekuatan saja.
Idealisme adalah pandangan dunia atau metafisik yang mengatakan bahwa realitas dasar terdiri atas ide, fikiran dan jiwa. Dunia dipahami dan ditafsirkan oleh penyelidikan  hukum-hukum fikiran   dan kesadaran dan tidak hanya oleh metoda objektif semata.  
Terdapat harmoni yang dalam   antara   manusia   dan   alam.   Alam adalah sistim yang logis dan spiritual, hal ini tercermin    dalam usaha manusia untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Jiwa merupakan  bagian  yang  sebenarnya  dari dari proses alam. Proses ini dalam bagian yang tinggi menunjukan dirinya sebagai aktivitas, akal, jiwa atau perorangan.
Prinsip idealisme yang pokok adalah kesatuan organik. Kaum idealisme condong untuk menekankan teori koherensi atau konsistensi dalam memperoleh kebenaran. Suatu putusan (judgment) akan benar jika ia sesuai dengan putusan-putusan lain yang sudah  diterima  sebagai  ”benar”.[11]
Idealisme dikelompokan menjadi tiga yakni :  idealisme  subyektif,  idealisme obyektif dan idealisme personalisme.[12]
a)    Idealisme Subyektif-Immaterialisme yang kadang-kadang disebut Mentalisme atau Fenomenalisme.    
Menurut idealisme: akal, jiwa dan persepsinya merupakan segala yang ada. Benda-benda seperti pohon   dan   bangunan   itu   ada   tetapi hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya. Yang menjadi permasalahan  bukan  benda-benda  itu tapi bagaimana mempersepsikannya.
Tokoh   dari   aliran   ini  adalah   George Berkeley dengan filsafatnya : Immaterialisme.  Ia  mengatakan  bahwa ide itu ada dan dipersepsikan oleh akal. ”ada berarti dipersepsikan,” Akal adalah yang melakukan persepsi.  Tak mungkin ada  benda  atau  persepsi  tanpa seseorang mengetahui benda atau persepsi tersebut jadi benda dipersepsikan oleh akal.
b)   Idealisme Obyektif, dengan tokohnya adalah Plato. Pendapatnya bahwa di belakang alam perubahan, emperis, fenomena yang kita lihat dan kita rsakan terdapat  alam  ideal  yaitu  alam  sensi, form, atau ide. Dunia di bagi menjadi dua yakni : Pertama, dunia persepsi, dunia penglihatan, suara dan benda-benda individual. Dunia seperti ini bukan dunia sesungguhnya hanya merupakan dunia penampakan saja. Kedua, yakni alam konsep, ide, universal, atau esensi dan abadi. Kita mengenal benda-benda ideal karena kita mengetahui konsep-konsep daricontoh-contoh dunia abadi. Ide adalal transenden dan asli sedang persepsi dan benda-benda individual adalah copy atau bayangan dari ide tersebut.
c)    Personalisme atau Idealisme Personal, menganggap realitas dasar bukan pemikiran yang abstrak atau pemikiran yang  khusus  tetapi  merupakan seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir. Realitas termasuk dalam personalitas yang sadar, oleh karena itu realitas bersifat pluralistik. Kelompok ini menekankan realitas dan harga diri, nilai moral an kemerdekaa manusia. Bagi kelompok  personalis,  manusia mengatasi alam jika ia mengadakan interpretasi terhadap alam ini. Sains mengatasi matrialnya dengan teori- teorinya,  alam  nilai  menjangkau  lebih jauh lebih jauh daripada alam semesta sebagai penjelasan terakhir. Sebagai aliran idealisme, personal menunjukkan perhatian  yang  besar  pada  etika  dan lebih sedikit pada logika di banding dengan aliran idealism mutlak. Oleh karena personalitas mempunyai   nilai yang lebih tinggi daripada yang lainnya, maka masyarakat harus diatur sedemikian rupa sehingga tiap orang dapat memperoleh kehidupan dan kesempatan yang sebesar-sebesarnya.
2.    Realisme
Sistem kefilsafatan realisme   percaya bahwa dengan  sesuatu  atau  lain  cara,  ada hal-hal yanh adanya terdapat di dalam dan tentang diri sendiri, dan yang hakekatnya tidak terpengaruhi oleh sesorang. Sudah tentu hal ini merupakan sudut pandang seseorang yang terpengaruh oleh seseorang.Sudah tentu hal ini merupakan sudut pandang seseorang yang pendirinya kefilsafatannya belum beliku-liku. Jika ditanya, kebanyakan orang  akan  dengan  tegas mengadakan pemilahan yang tajam antara tindakan akal yang menyadari sesuatu    objek     dengan   objeknya sendiri.[13]
Bahwa realisme naif artinya pohon dengan batangnya,  dengan  warnanya  dan secara singkat dalam segala seginya. Saya kira yang tersebut diatas itulah yang akan kita katakana. Pendirian ini tidak bersifat kritis, yakni menganggap vertikal (dalam)  apa yang nampak pada permukaan, yang mencolok dan yang pertama kalinya.[14]
Realisme memandang ilmu pengetahuan untuk menjelaskan apa yang  terjadi  dan  bagaimana sebenarnya itu ada. Realisme muncul sebagai  reaksi  atas  kegagalan kaum idealism-liberalis. Tokoh realis seperti: E.H.  Carr,  Danniel  Berhard berpendapat bahwa negara sebagai aktor tunggal harus bias menjaga keamanan negara sendiri dan mendapatkan kekuasaan untuk kepentingan negara itu sendiri.
Realisme klasik dikemukakan oleh ilmuan sosial dan politik, seperti Thucydides Niccolo Maciavelli dan Thomas Hobber. Thucydides menyatakan perang merupakan langkah yang efektif dan rasional untuk stabilitas karena negara tidak mempunyai   pilihan     lain kecuali menjalankan pemerintahan yang anarkis  (tidak  ada  yang  mengontrol atau tidak ada yang mengatur dan tanpa   aturan).   Artinya,   realis tidak dapat menciptakan perdamaian tetap mengarah pada balance of power (BoP). Realis menganggap sistem internasional anarkis karena tidak ada aturan-aturan secara global (global gevernace). Realisme lebih mengutamakan kepentingan dibandingkan idealisme.
Dalam Thomas Hobbes (1651) menyatakan ada tiga asumsi dasar realisme, yaitu manusia adalah sama, manusia berinteraksi dalam lingkungan anarkis, dan manusia diarahkan oleh kompetisi, rasa ketidakpercayaan diri dan  kemulian.Kemudian  muncul konsep war ao all against, pada dasarnya manusia berkompetisi demi kepentingan  sendiri.Dapat disimpulakna bahwa Hobbes menekankan pada kekuatan politik dan hukum  internasional.  Pemikiran Hobbes tersebut disadari oleh realitas dilemma  keamanan  (security dilemma)  yang  terjadi  saat pencapaian keamanan perseorangan dan domestic melalui penciptaan negara selalu disertai dengan ketidakstabilan  keamanan  nasional dan internasional yang berakar dari system anarki negara.
Sekarang dapat juga kita lihat bersama akan elemen-elemen inti realisme kalsik dan modern itu seperti:
a)    Statism,    Westphalia     (1648) menyatakan negara sebagai actor utama  berupaya  wilayah  yang sudah dimiliki batas-batas tertentu.
b)   Survival; tidak ada yang menjamin keberlangsungan  suatu  negara yang menjadikan power dan kepentingan sebagai instrument utama (ethical code).
c)    Self Help; tidak ada persahabatan yang abadi yang ada adalah kepentingan pribadi. Kepentingan maksimum berarti tidak ada ukuran, sementara kepentingan optimal dapat diartikan semampunya tetapi tidak dipaksakan.
Realisme kritik menolak paham salinan yang menyangkut pencerrapan dan  pengetahuan atas dasar  alasan- alasan   seperti   yang   telah disebut dalam pernyataannya.Pilihan penganti apakah yang masih tersisa? Kata menolak dijumbuhkan sesuatu dari datanya. Disini masih tinggal dua kemungkinan. Yang pertama ialah, datanya merupakan bagian objeknya, ini berate datanya tidak bersifat kejiwaan; atau kemungkinan yang kedua ialah, sesungguhnya data itu tidak  ada,  melainkan yang  ada ialah suatu perbuatan yang dilakukan.
  2. Implikasi Idealisme Pemuda dan Realisme Orang Tua dalam Masyarakat
Filsafat sebagai induk  dari  ilmu  pengetahuan  (the  mother  of sciences)    pada   dasarnya   bermaksu untuk    menjawa seluruh problematika yang ada maupun yang mungkin ada dalam kehidupan manusia.[16] Masalah yang berkaitan dengan trilogi metafisika, yaitu manusia,  Tuhan  dan  alam  beserta  problematikanya  menjadissu utama yang yang menjadi kajian filsafat.
Dalam hal ini penulis ingin menelihat problem yang di selesaikan menggunakan keilmuan filsafat dalam problem tentang orang tua dan pemuda/remaja dalam kemasyarakatan.
Pada dasarnya antara orang tua dan remaja/pemuda terdapat perbedaan baik bersifat intrinsik (universal dan tak terelakkan) antara orang tua dan remaja dan baik bersifat ekstrinsik (yang dysebut dengan variable), yang didapatinya pada tahapan hidup yang samadari dua generasi tersebut, tetapi mempunyai “isi” kebudayaan yang berbeda karena berada pada masa yang berbeda.
Denga demikian, antara orang tua dan remaja ada perbedaan bukan saja pada saat yang bersamaan itu merekaberada pada tahap berkembangan yang berbeda (misalnya, orang tuaberada pada tahap E sementara anak pada waktu yang sama sedang berada pada tahap B); tetapi juga apa yang diperoleh orang tua pada masa lalu di tahap yang samadengan saat ini remaja berada berbeda. Masalahnya, karena orang tua memounyai kewajiban mensosialisasikan anak-anaknya, maka ia cenderunguntuk menerapkan apa yang ia peroleh dahulu di usia remaja, padahal hal tersebut dianggap sudah tidak cocok lagi saat ini. Inilah kesalahan orang tua, tetapi sukar bagi generasi terdahuluuntuk memperbaikinya, sebabini berkaitan dengan pertumbuhan logisdari kepribadiannya, orientasi mereka dibentuk oleh pengalamannya dimasa kanak-kanak. Tidak mudah baginya untuk “memordenisir” cara pandangnyakarena kepribadiannya sudah terbentuk. Kalau pun ia dapatberubah hanyalahyang sifat permukaan atau “luarnya” saja, tetapi pola atau caraberpikirnyaterdahulu sudah terbentuk melalui pengalaman.
Pada dasarnya antara orang tuan dan remajaterdapat perbedaab orientasi. Baik orang tua maupun remaja mengeklaim bahwa mereka ingin melihat “kebenaran”, dalam hal ini orang tua lebih bersifat realitas, kareana dimereka disatu sisi lebih melihathal-hal atau ide-ide yang berlakuatau berjalam dalam masyarakat dan disisi lain mereka melihat ide-ide yang sifatnya utopis secara kurang serius. Dengan demikian , pada usia pertengahan, orang cenderung untuk melupakan ide-ide yang sifatnya puitis yang masa mudanyamereka pandang tinggi. mereka pada usianya kinimemandang secra lebih sederhana apayang berlaku dan diterima dalam masyarakat. Oleh karena itu ideology yang dianut oleh orang tua dianggap lebih untuk mempertahankan status quodan ini tentu saja berkembang dari hasil pengalaman hidup yang dijalaninya.[17]
Sebaliknya kaum  remaja, mereka lebih idealis, hal ini disebabkan mereka menjalani ide-ideyang tertulis dan sebagian lainnya karena mereka memperoleh ide-ide yang idealtersebuttidak dalam kehidupan yang nyata, tetapi dari pendidikan, misalnya, hal ini dapat menimbulkan perbedaan dan konflikantara orang tua dan remajakarena perbedaan tersebutmenimbulkan cara pandang yang berbeda puladalam satu hal. Contoh yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-harimisalnya, bagaimana perbedaan orang tua dan remaja dalam memilih bidang studi atau cita-cita masa depan.
Di dalam masyarakat, seringkali status dan jabatanditentukan atas dasar usia, memang orang tua sesuai dengan posisinya itu dalam keluarga mempunyai kedudukan yang setrategis. Ia diberi otorotas yang lebih luas dibandingkanmereka yang mempunyai posisi sebagai anak. Kelompok social dilingkungannya menuntut orang tua untuk bertanggung jawab dalam hal mengontrol dan mendidik anak-anaknyaagar sesuai dengan apa yang sesuai dengan ketentuan normadan nilai yang berlaku dalam kelompok sosial atau masyarakatnya. Semaua itu dalam rangka memepertahankan struktur kebudayaan masyarakatnya. Karena tuntutan diatas, orang tuahak dan kewajiban dalam hal otoritas yang dianggap lebih strategisdibanding yang dimiliki anak-anaknya.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan otoritas yang dimiliki orang tua. Otoritas yang sering dikaitkan dengan kedudukan strategisdari para orang tuadalam kaitannya dengan fungsi sosialisasinya dapat bertahan  terus dan tidak terlalu dilihat sebagai hal yang sewenang-wenang disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
1. Karena anak itu lahir dan dibesarkan dalam keluarga, mereka bergantung pada orang tuany, otorotas orang tuayang sudah terinternalisasidalam diri mereka dapat diterima.
2. Keluarga sebagai kelompok primer menerapkan identifikasi, dimana seseorang dapat memahami dan menanggapisecara empati terhadap perasaan perasaan setiap anggota. Oleh karena itu dalam pelaksanaannyaotoritas tersebut tidak dilakukan secarasecara sewenang-wenang tetapi secara lunak dan kekeluargaan.
3. Dalam hubungan interasi yang intim dalam suatu kelompok primerkontrol tidak dating dari satu sisi saja, tetapi dari banyak sisitermasuk dari pihak sang anakyang kurang memiliki otoritas . Anak yang mempunyai kedudukan relative lebihsubordinat juga melakukan kontrol terhadap dirinya, ia dapat menekan keinginannya, sehingga dengan demikian otorotas orang tua tidak selalu dirasakan sebagai hal yang sewenang-wenang. [18]
Dengan demikian selaku orang tua seharusnya apabila pemuda melakukan kesalahan lihatlah dari segi kesalahannya dengan melihat lokalitas dan temporal yang sesuai dengan zamannya. Dan apabiala terjadi kesalahan dari pihak remaja/pemuda nasihatilah dengan lentur atau dengan sindiran/kata yang halus. Dan selaku remaja liahatlah orang tua apabila seandainya adanya suatau ketidak cocokan, maka di musyawarahkan dengan sangat bijaksana.



Daftar Pustaka

Suriasumantri, Jujun S.1 982. Ilmu Dalam Persepektif. Jakarta; PT. Gramedia.

Iannone, A. Pablo. 2001.  Dictionary Of World Phylosophy (London & New York: Routledge,

Long, Wilbur. t.th. Idealism. dalam Dagobert D. Runes. The Dictionary of Phylosophy. New Yok: Phylosophical Library.

Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua. 2001.  Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yokyakarta: Kanisius.

Kneller George F. 1979. Introduction to The Philoshophy of  Education. New Yok: Publishing Jhon Wiley & Sons.

Titus, Horold H. 1984. Living Issues in Philosophy. Terj.  HM Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Joad, C.E.M. 1936. Guide toPhilosophy. New York: Random House.

Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Gandhi, Teguh Wanga. 2003. Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz.

O. Kattsoff, Louis 2003. “Pengantar Filsafat”. Terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat Islam Sebuah Refleksi Autobiografis. Bandung: Mizan.

IKIP DKI Jakarta. 2004. Bungai Rampai Sosiologi Kelaurga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.





[1] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Persepektif  (Jakarta; PT. Gramedia, 1982), hlm. 4.
[2] A. Pablo Iannone,  Dictionary Of World Phylosophy (London & New York: Routledge, 2001), hlm. 251.
[3] Wilbur Long, Idealism, dalam Dagobert D. Runes, The Dictionary of Phylosophy (New Yok: Phylosophical Library, t.th), hlm. 136.
[4] A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis (Yokyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 44.
[5] George F.Kneller, Introduction to The Philoshophy of  Education (New Yok: Publishing Jhon Wiley & Sons, 1979), hlm. 33.
[6] Horold H. Titus, Living Issues in Philosophy, Terj.  HM Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 335-336.
[7] Ibid, hlm. 328.
[8] C.E.M. Joad, Guide toPhilosophy ( New York: Random House, 1936), hlm. 366.
[9] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), hlm. 105.
[10] Teguh Wangsa Gandhi, Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2003), hlm. 130.
[11] Ibid, hlm. 316.
[12] Ibid, hlm. 315-327.
[13] Louis  O.  Kattsoff, “Pengantar Filsafat”, Terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 108.
[14] Ibid, hlm. 148.
[15] Ibid, hlm. 152.
[16] Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat Islam Sebuah Refleksi Autobiografis (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 124.
[17] IKIP DKI Jakarta, Bungai Rampai Sosiologi Kelaurga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 125
[18] Ibid, hlm. 126.

No comments:

Post a Comment