A. PENDAHULUAN
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat ekstensial artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi motor penggerak kehidupan sehari-hari sebagai manusia individual maupun manusia sosial dalam bentuk suatu kemasyarakatan.
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat ekstensial artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi motor penggerak kehidupan sehari-hari sebagai manusia individual maupun manusia sosial dalam bentuk suatu kemasyarakatan.
Dengan adanya filsafat,
manusia dimungkinkan dapat melihat kebenaran tentang sesuatu di antara
kebenaran yang lain. Hal ini membuat manusia mencoba mengambil pilihan, di
antara alternatif yang ada saat ini, sehingga manusia mampu menghadapi
masalah-masalah yang ada dan belajar untuk menjadi bijaksana.
Disamping itu filsafat
memberikan petunjuk dengan metode pemikiran reflektif agar kita dapat
menyerasikan antara logika, rasa, rasio, pengalaman dan agama untuk pemenuhan
kebutuhan yang sejahtera.
Dalam kehidupan sosial banyak
sekali problem-problem yang di hadapi, salah satunya idealisme pemuda yang
cenderung dengan pandangan yang sesuai dengan keinginnannya. Sedangkan dalam
pihak lain orang tua yang cenderung dengan realismenya, yang hanya melihat
realita dalam kesehariannya.
Oleh karena itu, perlu adanya
pemecahan dalam mengahadapi problem-problem yang ada dalam kemasyarakatan
dengan bijaksana menggunakan filsafat. Dengan menggunakan cara
kerjanya yang sistematis, universal,
dan radikal yang mengupas,
menganalisa sesuatu secara mendalam,[1] ternyata filsafat sangat relevan dengan segala problematika
hidup dan kehidupan manusia
serta
mampu menjadi perekat kembali antara berbagai macam disiplin ilmu yang
terpisah kaitannya satu dengan yang lain.
B. Idealisme
Filsafat idealisme berasal dari Plato,
yaitu filsuf Yunani
yang hidup pada tahun 427-347 SM. Sebagaimana akar kata idealisme itu
sendiri awal mulanya berasal
dari bahasa Yunani idea yang berarti
pandangan (vision) atau kontemplasi.
Istilah ini pertama kali digunakan secara filosofis oleh filosof
dan
matematikawan Jerman G. W. Leibniz pada
awal abad ke-18 yang merujuk pada
pemikiran Plato
dan
memperlawankannya dengan empirisisme.[2]
Sebagai
sebuah aliran dalam filsafat,
idealisme berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada
kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia
itu
terletak di luarnya.
Pemikiran filsafat menurut
aliran idealisme adalah sebagai
berikut:
1. Ontologi
Idealisme
Metafisika
adalah cabang filsafat yang mempelajari atau membahas hakikat realitas (segala
sesuatu yang ada) secara menyeluruh (komprehensif). Menurut Idealisme hanya
realitas spiritual, mental atau rohani yang nyata dan tidak berubah. Karena
dengan hakekat realitas yang bersifat rohani, jiwa, spiritual, individual dan
ideal itulah yang kekal dan abadi. Alam semesta adalah ekspresi dari sebuah
kecerdasan yang sangat umum dari pikiran
universal.[3] Bagi
penganut idealisme, realitas
diturunkan dari suatu substansi fundamental, adapun substansi fundamental
itu sifatnya nonmaterial,
yaitu pikiran, spirit dan roh. Benda-benda yang bersifat material yang
tampak nyata, sesungguhnya diturunkan dari pikiran, jiwa dan roh.
Menurut
Plato, satu-satunya pengetahuan sejati adalah apa yang disebutnya sebagai episteme,
yaitu pengetahuan tunggal dan tidak berubah sesuai dengan ide-ide abadi. Oleh
karena itu, apa yang kita tangkapmelalui pancaindera hanya merupakan tiruan
cacat dari ide-ide tertentu yang abadi. Hanya ide-ide itu saja yang bersifat
nyata dan sempurna. Segala hal lainhanya tiruan dank arena itu tidak nyata dan
tidak sempurna.[4]
Menurut
para filsuf idealisme bahwa manusia hakikatnya bersifat spiritual/kejiwaan.
Menurut Plato, setiap manusia memiliki tiga bagian jiwa, yaitu nous (akal
fikiran) yang merupakan bagian rasional, thumos (semangat atau keberanian), dan
epithumia (keinginan, kebutuhan atau nafsu). Dari ketiga bagian jiwa tersebut
akan muncul salah satunya yang dominan. Jadi, hakikat manusia bukanlah
badannya, melainkan jwa/spiritnya, manusia adalah makhluk berfikir, mampu
memilih atau makhluk yang memiliki kebebasan, hidup dengan suatu aturan moral
yang jelas dan bertujuan.
Idealisme
berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau
intelegensi. Termasuk dalam paham idealisme adalah spiritualisme, rasionalisme,
dan supernaturalisme.
Secara
absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah,
meskipun pada kenyataannya
ada realita yang bersifat fisik tetapi sesunggunya
kenyataan rohaniahlah yang lebih dapat berperan.
2. Epistimologi
Idealisme
Epistemologi adalah
cabang filsafat
yang mempelajari atau membahas tentang hakikat pengetahuan. Menurut filsuf idealisme, proses mengetahui terjadi dalam pikiran,
manusia memperoleh
pengetahuan melalui berfikir dan
intuisi
(gerak hati). Beberapa
filsuf percaya bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat
kembali (semua pengetahuan adalah sesuatu yang diingat kembali). Sehinggga
mengetahui adalah memikirkan
lembali gagasan laten.
Tentang
teori pengetahuan, idealisme mengemukakan
bahwa pengetahuan yang diperoleh
melalui indera
tidak pasti dan tidak lengkap
karena
dunia hanyalah merupakan
tiruan belaka,
sifatnya maya yang
menyimpang dari
kenyataan sebenarnya.
Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan
pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya
mungkin dapat dicapai oleh beberapa
orang yang mempunyai akal pikiran
yang cemerlang,
sebagian besar manusia hanya sampai pada
tingkat berpendapat.
3. Aksiologi
Idealisme
Aksiologi
adalah cabang filsafat yang mempelajari atau
membahas
tentang hakikat
nilai. Para filsuf idealisme sepakat bahwa nilai bersifat mutlak dan abadi.
Nilai-nilai yang abadi
tersebut menurut Idealime Theistik berada pada Tuhan.
Sedangkan Idealisme
Pantheistik mengidentikan Tuhan dengan
alam.
Untuk mewujudkan
harmonisasi dalam kehidupan manusia, maka diatur dengan
adanya kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan
dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika. Sehingga,
menurut pandangan
idealisme,
nilai adalah absolut. Apa yang dikatakan baik, benar, salah, cantik atau jelek secara fundamental
bersifat tetap,
tidak berubah dari generasi ke generasi,
tidak diciptakan manusia dan nilai-nilai
tersebut merupakan bagian dari
alam semesta.
Plato mengemukakan bahwa kehidupan
yang baik hanya
mungkin terjadi dalam masyarakat yang baik dan ideal
yang diperintah oleh “the Philosopher
Kings”, yaitu kaum intelektual, para
ilmuwan atau cendekiawan.[5]
Dia juga mengemukakan bahwa jika
manusia tahu apa
yang dikatakannya sebagai hidup baik,
mereka
tidak
akan
berbuat hal-hal yang
bertentangan
dengan
moral.
C. Realisme
Realisme adalah suatu aliran filsafat yang
luas yang meliputi materialisme disatu sisi dan sikap yang lebih dekat kepada
idealisme objektif di pihak lain.
Realisme adalah pandangan bahwa objek-objek indera adalah riil dan berada
sendiri tanpa bersandar kepada pengetahuan lain atau kesadaran akal.
Diketahuinya atau menjadi objek pengalaman,
tidak akan mempengaruhi watak
sesuatu benda atau mengubahnya.
Benda-benda ada dan kita mungkin sadar dan kemudian tidak sadar akan adanya
benda-benda tersebut, tetapi hal itu tidak mengubah watak benda-benda
tersebut. Benda-benda atau bojek memang
mungkin memiliki hubungan dengan kesadaran, namun benda-benda atau objek tersebut tidak diciptakan atau diubah oleh kenyataan bahwa ia diketahui
oleh subjek.[6]
Dalam pandangan realisme, realitas itu dipahami sebagai sesuatu yang
sifatnya
objektif, tersusun atas materi dan bentuk serta berdasarkan hukum alam.
Pemikiran filsafat menurut
aliran Realisme adalah sebagai berikut:
1.
Ontologi
Realisme
Dalam pengertian filsafat, realism
berarti anggapan bahwa objek
indera kita adalah real. Benda-benda ada, adanya
itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui,
atau kita persepsikan atau ada hubungannnya
dengan pikiran kita.[7]
Realisme menegaskan
bahwa sikap common sense yang diterima orang secara
luas adalah benar, artinya bahwa bidang alam atau objek fisik itu ada, tak bersandar kepada
kita,
dan bahwa pengalaman
kita tidak mengubah fakta benda yang kita rasakan.
Objek tidak dipengaruhi
oleh adanya pengalaman subjek atau tidak adanya pengalaman subjek tentang benda
tersebut. Jika aliran idealisme menekankan
akal atau jiwa sebagai realitas pertama, maka aliran realism cenderung
untuk menganggap akal sebagai salah satu dari beberapa benda yang
keseluruhannya dinamakan alam dan juga penekanan bahwa dunia luar berdiri sendiri dan tidak tergantung pada subjek.
Perhatian diarahkan bukan kepada
akal yang memahami akan tetapi kepada realitas yang dipahami.
Dengan demikian
maka realisme mencerminkan objektivisme
yang mendasari dan menyokopng sains modern. Realisme menerima kenyataan bahwa
dunia ini berbeda-beda tergantung kepada pengalaman maisng-masing subjek.
Realisme bertentangan secara tajam dengan idealisme. Realisme adalah juga sikap untuk menjaga subjek dari
penilaiannya terhadap benda-benda, dengan membiarkan objek-objek berbicara
sendiri kepada subjek. Realisme melukiskan dunia ini sebagaimana adanya dan
tidak menurut keinginannya. Penekanannya, kepada dunia luar yang berdiri
sendiri.
2.
Epistemologi
Realisme
Dalam perspektif
epistemologi maka aliran realisme hendak menyatakan bahwa hubungan antara
subjek dan objek
diterangkan sebagai hubungan
dimana subjek mendapatkan
pengetahuan tentang objek murni karena pengaruh objek itu sendiri dan tidak
tergantung oleh si subjek. Pemahanan subjek dengan demikian ditentukan atau
dipengaruhi oleh objek.[8] Realisme
berhubungan erat dengan kajian sains, karena objek kajian
sain hanyalah objek yang
berada dalam
ruang lingkup pengalaman di sinilah ialah pengalaman indera.[9]
3.
Aksiologi
Realisme
Aspek aksiologis banyak berkaitan dengan bidang nilai. Pertanyaan-pertanyaan dasarnya adalah apakah nilai
itu bersifat absolut ataukah
justru bersifat relatif ? Masalah
nilai menjadi sangat penting dalam konteks filsafat pendidikan.
Dalam pendidikan tidak hanya berbicara mengenai proses transfer pengetahuan, melainkan juga menyangkut penanaman
nilai. Dalam kaitan dengan nilai, pandangan Realisme menyatakan bahwa
nilai bersifat absolut,
abadi namun tetap mengikuti hukum
alam yang berlaku.
Melalui konsep nilainya tersebut kelompok realis juga menyatakan bahwa mata pelajaran
yang dilaksanakn
disekolah
pada intinya
adalah untuk menerangkan realitas
objektif dunia, sehingga studi-studi disekolah lebih banyak didasarkan pada kajian-kajian ilmu kealaman atau sains. Hal ini banyak dimaklumi mengingat bahwa
melalui sains lah realitas itu tergelar secara objektif dan menantang manusia untuk memahaminya.
D. Idealisme
dan Realisme dalam masyarakat
1.
Idealisme
Kata Idealisme dalam filsafat memiliki arti yang berbeda dengan bahasa sehari- hari. Menurut Idealisme realitas terdiri dari ide-ide, fikiran-fikiran ,akal (mind), atau jiwa
(selves) dan bukan benda material maupun
kekuatan.[10]
Idealisme menekankan mind lebih dahulu daripada materi. Akal adalah yang riil
sedang materi
adalah
produk sampingan.
Dengan demikan
maka idealisme
menganggap bahwa dunia pada
dasarnya hanya sebuah mesin besar dan
harus
ditafsirkan sebagai
materi
atau kekuatan
saja.
Idealisme adalah pandangan
dunia atau metafisik yang mengatakan bahwa realitas dasar terdiri atas ide,
fikiran dan jiwa. Dunia dipahami dan ditafsirkan oleh penyelidikan hukum-hukum fikiran dan kesadaran dan tidak hanya oleh metoda
objektif semata.
Terdapat harmoni yang
dalam antara manusia
dan alam. Alam adalah sistim yang logis dan spiritual,
hal ini tercermin dalam usaha manusia
untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Jiwa merupakan bagian
yang sebenarnya dari dari proses alam. Proses ini dalam
bagian yang tinggi menunjukan dirinya sebagai aktivitas, akal, jiwa atau
perorangan.
Prinsip idealisme yang pokok adalah kesatuan organik. Kaum
idealisme condong untuk menekankan teori koherensi atau konsistensi dalam
memperoleh kebenaran. Suatu putusan (judgment) akan benar jika ia sesuai dengan
putusan-putusan lain yang sudah
diterima sebagai ”benar”.[11]
Idealisme dikelompokan menjadi
tiga yakni : idealisme subyektif,
idealisme obyektif dan idealisme personalisme.[12]
a)
Idealisme
Subyektif-Immaterialisme yang kadang-kadang disebut Mentalisme
atau Fenomenalisme.
Menurut idealisme: akal, jiwa
dan persepsinya merupakan segala yang ada. Benda-benda seperti pohon dan
bangunan itu ada
tetapi hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya. Yang menjadi
permasalahan bukan benda-benda
itu tapi bagaimana mempersepsikannya.
Tokoh dari
aliran ini adalah
George Berkeley dengan filsafatnya : Immaterialisme. Ia
mengatakan bahwa ide itu ada dan
dipersepsikan oleh akal. ”ada berarti dipersepsikan,” Akal adalah yang
melakukan persepsi. Tak mungkin ada benda
atau persepsi tanpa seseorang mengetahui benda atau
persepsi tersebut jadi benda dipersepsikan oleh akal.
b)
Idealisme Obyektif, dengan tokohnya
adalah
Plato. Pendapatnya bahwa di belakang alam perubahan,
emperis,
fenomena yang kita lihat dan kita rsakan
terdapat alam
ideal yaitu alam
sensi,
form, atau ide. Dunia di bagi menjadi dua
yakni : Pertama, dunia persepsi, dunia
penglihatan,
suara dan benda-benda
individual. Dunia seperti ini bukan dunia sesungguhnya
hanya
merupakan dunia
penampakan saja. Kedua, yakni
alam konsep, ide, universal, atau esensi
dan abadi. Kita mengenal benda-benda ideal
karena
kita mengetahui konsep-konsep
daricontoh-contoh dunia
abadi. Ide adalal transenden dan asli sedang persepsi dan
benda-benda individual adalah copy
atau bayangan dari
ide
tersebut.
c)
Personalisme atau Idealisme Personal, menganggap realitas
dasar bukan pemikiran yang abstrak atau pemikiran yang khusus tetapi merupakan
seseorang, suatu jiwa atau seorang
pemikir.
Realitas termasuk dalam personalitas yang sadar, oleh
karena itu
realitas bersifat pluralistik. Kelompok ini menekankan realitas
dan harga diri, nilai
moral an kemerdekaa
manusia. Bagi kelompok personalis, manusia
mengatasi alam jika ia mengadakan interpretasi terhadap
alam ini. Sains
mengatasi matrialnya dengan teori- teorinya,
alam nilai menjangkau
lebih
jauh
lebih
jauh
daripada alam
semesta
sebagai penjelasan terakhir. Sebagai aliran idealisme, personal menunjukkan perhatian
yang
besar pada
etika dan
lebih sedikit pada logika di
banding
dengan aliran idealism
mutlak. Oleh karena personalitas
mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada yang
lainnya,
maka masyarakat harus diatur
sedemikian rupa sehingga
tiap
orang dapat memperoleh kehidupan dan kesempatan yang sebesar-sebesarnya.
2.
Realisme
Sistem kefilsafatan realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau lain
cara,
ada hal-hal yanh adanya terdapat di
dalam dan tentang diri
sendiri, dan yang
hakekatnya tidak terpengaruhi oleh
sesorang. Sudah
tentu hal ini merupakan
sudut pandang seseorang yang terpengaruh
oleh seseorang.Sudah
tentu hal ini merupakan
sudut pandang seseorang yang pendirinya kefilsafatannya belum
beliku-liku. Jika ditanya, kebanyakan
orang akan dengan tegas mengadakan pemilahan yang tajam
antara tindakan akal yang menyadari sesuatu objek dengan objeknya
sendiri.[13]
Bahwa realisme naif artinya
pohon dengan batangnya, dengan warnanya
dan secara singkat dalam segala seginya. Saya kira yang tersebut diatas
itulah yang akan kita katakana. Pendirian ini tidak bersifat kritis, yakni
menganggap vertikal (dalam) apa yang nampak
pada permukaan, yang mencolok dan yang pertama kalinya.[14]
Realisme memandang ilmu
pengetahuan untuk menjelaskan apa yang
terjadi dan bagaimana sebenarnya itu ada. Realisme muncul
sebagai reaksi atas
kegagalan kaum idealism-liberalis. Tokoh realis seperti: E.H. Carr,
Danniel Berhard berpendapat bahwa
negara sebagai aktor tunggal harus bias menjaga keamanan negara sendiri dan
mendapatkan kekuasaan untuk kepentingan negara itu sendiri.
Realisme klasik dikemukakan
oleh ilmuan sosial dan politik, seperti Thucydides Niccolo Maciavelli dan
Thomas Hobber. Thucydides menyatakan perang merupakan langkah yang efektif dan
rasional untuk stabilitas karena negara tidak mempunyai pilihan
lain kecuali menjalankan pemerintahan yang anarkis (tidak
ada yang mengontrol atau tidak ada yang mengatur dan
tanpa aturan). Artinya,
realis tidak dapat menciptakan perdamaian tetap mengarah pada balance
of power (BoP). Realis menganggap sistem internasional anarkis karena tidak
ada aturan-aturan secara global (global gevernace). Realisme lebih
mengutamakan kepentingan dibandingkan idealisme.
Dalam Thomas Hobbes (1651) menyatakan ada tiga asumsi dasar
realisme, yaitu manusia adalah sama, manusia berinteraksi dalam lingkungan
anarkis, dan manusia diarahkan oleh kompetisi, rasa ketidakpercayaan diri
dan kemulian.Kemudian muncul konsep war ao all against, pada
dasarnya manusia berkompetisi demi kepentingan
sendiri.Dapat disimpulakna bahwa Hobbes menekankan pada kekuatan politik
dan hukum internasional. Pemikiran Hobbes tersebut disadari oleh
realitas dilemma keamanan (security dilemma) yang
terjadi saat pencapaian keamanan
perseorangan dan domestic melalui penciptaan negara selalu disertai dengan
ketidakstabilan keamanan nasional dan internasional yang berakar dari
system anarki negara.
Sekarang dapat juga kita lihat bersama akan elemen-elemen
inti realisme kalsik dan modern itu seperti:
a)
Statism,
Westphalia (1648) menyatakan
negara sebagai actor utama berupaya wilayah
yang sudah dimiliki batas-batas tertentu.
b)
Survival; tidak ada yang menjamin
keberlangsungan suatu negara yang menjadikan power dan kepentingan
sebagai instrument utama (ethical code).
c)
Self Help; tidak ada persahabatan
yang abadi yang ada adalah kepentingan pribadi. Kepentingan maksimum berarti
tidak ada ukuran, sementara kepentingan optimal dapat diartikan semampunya
tetapi tidak dipaksakan.
Realisme kritik menolak paham salinan yang menyangkut pencerrapan
dan pengetahuan atas dasar alasan- alasan seperti
yang telah disebut dalam
pernyataannya.Pilihan penganti apakah yang masih tersisa? Kata menolak
dijumbuhkan sesuatu dari datanya. Disini masih tinggal dua kemungkinan. Yang
pertama ialah, datanya merupakan bagian objeknya, ini berate datanya tidak
bersifat kejiwaan; atau kemungkinan yang kedua ialah, sesungguhnya data itu
tidak ada, melainkan yang ada ialah suatu perbuatan yang dilakukan.
2. Implikasi
Idealisme Pemuda dan Realisme Orang Tua dalam Masyarakat
Filsafat sebagai induk dari
ilmu pengetahuan (the mother of sciences) pada dasarnya bermaksud untuk
menjawab seluruh
problematika yang ada maupun yang mungkin ada dalam kehidupan
manusia.[16] Masalah yang berkaitan dengan trilogi
metafisika,
yaitu
manusia, Tuhan dan
alam beserta
problematikanya
menjadi issu utama yang yang menjadi kajian filsafat.
Dalam hal ini penulis ingin menelihat problem yang di
selesaikan menggunakan keilmuan filsafat dalam problem tentang orang tua dan
pemuda/remaja dalam kemasyarakatan.
Pada dasarnya antara orang
tua dan remaja/pemuda terdapat perbedaan baik bersifat intrinsik (universal dan
tak terelakkan) antara orang tua dan remaja dan baik bersifat ekstrinsik (yang
dysebut dengan variable), yang didapatinya pada tahapan hidup yang samadari dua
generasi tersebut, tetapi mempunyai “isi” kebudayaan yang berbeda karena berada
pada masa yang berbeda.
Denga demikian, antara orang
tua dan remaja ada perbedaan bukan saja pada saat yang bersamaan itu
merekaberada pada tahap berkembangan yang berbeda (misalnya, orang tuaberada
pada tahap E sementara anak pada waktu yang sama sedang berada pada tahap B);
tetapi juga apa yang diperoleh orang tua pada masa lalu di tahap yang
samadengan saat ini remaja berada berbeda. Masalahnya, karena orang tua memounyai
kewajiban mensosialisasikan anak-anaknya, maka ia cenderunguntuk menerapkan apa
yang ia peroleh dahulu di usia remaja, padahal hal tersebut dianggap sudah
tidak cocok lagi saat ini. Inilah kesalahan orang tua, tetapi sukar bagi
generasi terdahuluuntuk memperbaikinya, sebabini berkaitan dengan pertumbuhan
logisdari kepribadiannya, orientasi mereka dibentuk oleh pengalamannya dimasa
kanak-kanak. Tidak mudah baginya untuk “memordenisir” cara pandangnyakarena
kepribadiannya sudah terbentuk. Kalau pun ia dapatberubah hanyalahyang sifat
permukaan atau “luarnya” saja, tetapi pola atau caraberpikirnyaterdahulu sudah
terbentuk melalui pengalaman.
Pada dasarnya antara orang
tuan dan remajaterdapat perbedaab orientasi. Baik orang tua maupun remaja
mengeklaim bahwa mereka ingin melihat “kebenaran”, dalam hal ini orang tua
lebih bersifat realitas, kareana dimereka disatu sisi lebih melihathal-hal atau
ide-ide yang berlakuatau berjalam dalam masyarakat dan disisi lain mereka
melihat ide-ide yang sifatnya utopis secara kurang serius. Dengan demikian ,
pada usia pertengahan, orang cenderung untuk melupakan ide-ide yang sifatnya
puitis yang masa mudanyamereka pandang tinggi. mereka pada usianya
kinimemandang secra lebih sederhana apayang berlaku dan diterima dalam masyarakat.
Oleh karena itu ideology yang dianut oleh orang tua dianggap lebih untuk
mempertahankan status quodan ini tentu saja berkembang dari hasil
pengalaman hidup yang dijalaninya.[17]
Sebaliknya kaum remaja, mereka lebih idealis, hal ini
disebabkan mereka menjalani ide-ideyang tertulis dan sebagian lainnya karena
mereka memperoleh ide-ide yang idealtersebuttidak dalam kehidupan yang nyata,
tetapi dari pendidikan, misalnya, hal ini dapat menimbulkan perbedaan dan
konflikantara orang tua dan remajakarena perbedaan tersebutmenimbulkan cara
pandang yang berbeda puladalam satu hal. Contoh yang sering ditemui dalam
kehidupan sehari-harimisalnya, bagaimana perbedaan orang tua dan remaja dalam
memilih bidang studi atau cita-cita masa depan.
Di dalam masyarakat, seringkali
status dan jabatanditentukan atas dasar usia, memang orang tua sesuai dengan
posisinya itu dalam keluarga mempunyai kedudukan yang setrategis. Ia diberi
otorotas yang lebih luas dibandingkanmereka yang mempunyai posisi sebagai anak.
Kelompok social dilingkungannya menuntut orang tua untuk bertanggung jawab
dalam hal mengontrol dan mendidik anak-anaknyaagar sesuai dengan apa yang
sesuai dengan ketentuan normadan nilai yang berlaku dalam kelompok sosial atau
masyarakatnya. Semaua itu dalam rangka memepertahankan struktur kebudayaan
masyarakatnya. Karena tuntutan diatas, orang tuahak dan kewajiban dalam hal
otoritas yang dianggap lebih strategisdibanding yang dimiliki anak-anaknya.
Ada dua hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan otoritas yang dimiliki orang tua. Otoritas yang
sering dikaitkan dengan kedudukan strategisdari para orang tuadalam kaitannya
dengan fungsi sosialisasinya dapat bertahan terus dan tidak terlalu dilihat sebagai hal
yang sewenang-wenang disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
1.
Karena
anak itu lahir dan dibesarkan dalam keluarga, mereka bergantung pada orang
tuany, otorotas orang tuayang sudah terinternalisasidalam diri mereka dapat diterima.
2.
Keluarga
sebagai kelompok primer menerapkan identifikasi, dimana seseorang dapat
memahami dan menanggapisecara empati terhadap perasaan perasaan setiap anggota.
Oleh karena itu dalam pelaksanaannyaotoritas tersebut tidak dilakukan
secarasecara sewenang-wenang tetapi secara lunak dan kekeluargaan.
3.
Dalam
hubungan interasi yang intim dalam suatu kelompok primerkontrol tidak dating
dari satu sisi saja, tetapi dari banyak sisitermasuk dari pihak sang anakyang
kurang memiliki otoritas . Anak yang mempunyai kedudukan relative
lebihsubordinat juga melakukan kontrol terhadap dirinya, ia dapat menekan
keinginannya, sehingga dengan demikian otorotas orang tua tidak selalu
dirasakan sebagai hal yang sewenang-wenang. [18]
Dengan demikian selaku orang
tua seharusnya apabila pemuda melakukan kesalahan lihatlah dari segi
kesalahannya dengan melihat lokalitas dan temporal yang sesuai dengan zamannya.
Dan apabiala terjadi kesalahan dari pihak remaja/pemuda nasihatilah dengan
lentur atau dengan sindiran/kata yang halus. Dan selaku remaja liahatlah orang
tua apabila seandainya adanya suatau ketidak cocokan, maka di musyawarahkan
dengan sangat bijaksana.
Daftar Pustaka
Suriasumantri, Jujun S.1 982. Ilmu Dalam
Persepektif. Jakarta; PT. Gramedia.
Iannone, A. Pablo. 2001.
Dictionary Of World Phylosophy (London & New York:
Routledge,
Long, Wilbur. t.th.
Idealism. dalam Dagobert D. Runes. The Dictionary of Phylosophy. New
Yok: Phylosophical Library.
Keraf, A. Sonny
& Mikhael Dua. 2001. Ilmu
Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yokyakarta: Kanisius.
Kneller George F.
1979. Introduction to The Philoshophy of
Education. New Yok: Publishing Jhon Wiley & Sons.
Titus, Horold H. 1984. Living Issues in Philosophy.
Terj. HM Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Joad, C.E.M. 1936. Guide toPhilosophy. New
York: Random House.
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Gandhi, Teguh
Wanga. 2003. Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz.
O. Kattsoff,
Louis 2003. “Pengantar Filsafat”. Terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya.
Kartanegara, Mulyadhi.
2005. Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat Islam Sebuah Refleksi
Autobiografis. Bandung: Mizan.
IKIP DKI Jakarta.
2004. Bungai Rampai Sosiologi Kelaurga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[1] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Persepektif (Jakarta; PT. Gramedia, 1982), hlm. 4.
[2] A. Pablo Iannone,
Dictionary Of World Phylosophy (London & New York: Routledge,
2001), hlm. 251.
[3] Wilbur Long, Idealism, dalam Dagobert D. Runes, The
Dictionary of Phylosophy (New Yok: Phylosophical Library, t.th), hlm. 136.
[4] A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah
Tinjauan Filosofis (Yokyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 44.
[5]
George F.Kneller, Introduction to The Philoshophy of Education (New Yok: Publishing Jhon Wiley
& Sons, 1979), hlm. 33.
[6]
Horold H. Titus, Living Issues in Philosophy, Terj.
HM Rasjidi
(Jakarta:
Bulan Bintang,
1984), hlm. 335-336.
[7] Ibid, hlm. 328.
[8] C.E.M. Joad, Guide toPhilosophy ( New York: Random House,
1936), hlm. 366.
[9] Surajiyo,
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2010), hlm. 105.
[10] Teguh Wangsa Gandhi, Filsafat Pendidikan: Mazhab-mazhab Filsafat
Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2003), hlm. 130.
[11] Ibid, hlm. 316.
[12] Ibid, hlm. 315-327.
[13] Louis O. Kattsoff, “Pengantar Filsafat”, Terj.
Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 108.
[14] Ibid, hlm. 148.
[15] Ibid, hlm. 152.
[16] Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat
Islam Sebuah Refleksi Autobiografis (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 124.
[17] IKIP DKI Jakarta, Bungai Rampai Sosiologi Kelaurga (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 125
[18] Ibid, hlm. 126.
No comments:
Post a Comment