Monday, 22 August 2016

UNIVERSITAS AZ-ZAITUNAH DAN UNIVERSITAS AL-AZHAR


            Madarasah sebagai salah satau institusi pendidikan Islam, yang secara historis telah berabad-abad usianya. Namun usia yang begitu tua tidak menjadikan keberadaan madrasah sebagai lembagayang kondusif untuk proses belajar mengajarapabila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang nota bene baru berusia muda.
            Jatuh bagun, perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan dinamika perubahan zaman. Kondisi pasang surut, dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang ada pada saat itu tidak lepas dari peranan penguasa.
            makalah ini akan memaparkan sejarah madrasah tingkat tinggi yang tertua, ada dua madrasah az-Zaitunah di Tunisia dan madrasah al-Azhar di Mesir yang sangat perperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terlebih ilmu-ilmu keislaman. 

UNIVERSITAS AZ-ZAITUNAH
A.    Latar Belakang Berdirinya Az-Zaitunah
Pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, dimana perhatian tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman kedua khulafaur rasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin berramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, dan lainnya.
Ekspansi inilah terus menerus dari generasi ke generasi, kemudian tiba masa kekuasaan Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-714 M) memerintah 10 tahun lamanya.[1] Pada masa pemerintahanya, kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. kekuasaan Islam melangkah ke spanyol di bawah pimpinan pasukan Thariq bin Ziyad, ketika Afrika dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair. Karena kekayaan melimpah maka ia sempurnakan pembangunan masjid-masjid, gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk kafilah yang berlalu lalang dijalan tersebut.[2]
Pada zaman pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik masjid Umawiyah didirikan antara tahun 88-96 H (705-714) yang merupakan universitas terbesar di zaman Umawiyah. Pada zaman ini juga didirikan Masjid Zaitunah di Tunisia yang dianggap sebagai universitas tertua di dunia yang masih hidup sampai sekarang yang didirikan oleh Ubaidillah bin al-Habhab pada tahun 114 H. Juga didirikan Masjid Al-Qairawan  oleh Uqbah bin Nafi yang menaklukan Afrika Utara pada tahun 50 H.[3]
Universitas az-Zaitunah selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, seperti halnya masjid-masjid lainnya. Di universitas az-Zaitunah memberikan pengajaran Ilmu Agama Islam sejak tahun 120 H, Masjid az-Zaitunah merupakan perguruan tinggi Arab-Islam tertua dan terus berlanjut mempunyai peran pendidikan selama 13 abad. Fakta ini ditujukan oleh sejarawan Hasan Husni Abdul Wahab yang menegaskan: “Masjid Zaitunah secara sejarah adalah pengajaran paling awal dan tertua yang didirikan di dunia Arab.”[4]   Dalam kapasitas ganda sebagai universitas dan tempat ibadah mengalami kejayaan sampai akhir masa Dinasti Hafsiah (634-981 H/1237-1537 M). 
B.     Perkembangan Az-Zaitunah
1.    Masa Dinasti ummayah
Kota Tunis pertama kali dibangun Kaisar Romawi, Augustus, pada abad pertama Masehi. Ajaran Islam mulai menyebar di kota itu, ketika Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus mulai memperluas kekuasaannya ke wilayah Maghrib yang dikuasai Kekaisaran Bizantium. Khalifah Muawiyah bertekad untuk merebut wilayah itu dari genggaman Bizantium.
Sejak itulah, Islam mulai berkembang di kota Tunis. Suku Barbar yang menghuni kota itu menerima kehadiran agama Islam. Menurut Prof Hodgson, suku Barbar pun mulai berasimilasi dengan bangsa Arab yang datang ke kota itu.
Ketika Kekhalifahan Umayyah yang berpusat di Damaskus tumbang pada 748 M, kekuasaan dunia Islam mulai digenggam Dinasti Abbasiyah. Peralihan kekuasaan ini menyebabkan kota Tunis dan seluruh wilayah Tunisia sempat terlepas dari pengawasan pusat kekhalifahan. Namun, pada 767 kota Tunis kembali dapat dikuasai Dinasti Abbasiyah pada 767 M.
2.    Masa Dinasti Aglabiah
Tiga tahun kemudian, Khalifah Abbasiyah yang berpusat di kota Baghdad menunjuk Ibrahim Ibnu Aghlab sebagai gubernur Afrika Utara yang berpusat di Qairawan. Mulai saat itu, peradaban Islam mencapai era kejayaan di Tunisia dan kawasan Arab Maghrib.
Dinasti Aglabiah yang menjalin hubungan yang erat dengan Kekhalifahan Abbasiyah banyak menerapkan meniru kebijakan dinasti yang berpusat di Baghdad itu. Salah satunya, Dinasti Aglabiah turut mendirikan Bait Al- Hikmah, seperti yang dilakukan Dinasti Abbasiyah di Bagdad. Ketika itu, penguasa Dinasti Aghlabiah pada masa Abu Ishak, memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahannya dari Qairawan ke Tunis. Saat Dinasti Ahglabiah berkuasa, di Tunis berdiri dengan megah istana kerajaan. Selain itu, ilmu pengetahuan pun mulai berkembang di kota itu.
Memasuki tahun 910 M, kejayaan Aghlabiah memudar. Kota Tunis terpuruk dalam kubangan huru-hara ketika bangsa Normandia menginvasi wilayah Maghrib. Bangsa Normandia berhasil dipukul Kekhalifahan Fatimiyah yang berpusat di Mesir.
3.    Masa Dinasti Al-Muwahidun
Tunis kembali mulai bergeliat ketika Dinasti Almohad atau Al-Muwahidun yang berasal dari suku Barbar Islam berkuasa pada abad ke-12 M. Pada era kejayaan Almohad, ilmu pengetahuan berkembang pesat di wilayah Maghrib.
Salah seorang sarjana terkemuka pada era itu, Abu Yusuf Yakub, membangun sejumlah perpustakaan di Tunis dan wilayah Maghrib lainnya. Dinasti ini juga mendukung aktivitas para sarjana Muslim, seperti Ibnu Tufail dan Ibnu Rushd untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu arsitektur peninggalan dinasti ini adalah bangunan Giralda of Seville.[5]
4.    Masa Dinasti Hafsiah
Puncak kejayaan kota Tunis berlangsung di era kekuasaan Dinasti Hafsiah. Pada masa itu, di Tunis berdiri sebuah perguruan tinggi pertama di Afrika Utara.
Tunis pun menjadi kota yang berpengaruh. Kota itu berkembang menjadi kota perdagangan dan ilmu pengetahuan. Para pedagang dari Venesia dan berbagai belahan dunia lainnya datang ke Tunis untuk berniaga.
Kemakmuran yang dicapai kota Tunis masih dapat disaksikan pada abad akhir awal abad ke-16 M. Seorang pelaut dari Turki, Pipi Reis, dalam catatan perjalanannya melukiskan kemegahan dan keindahan kota itu. Menurut Reis, di kota itu berdiri sekitar 5.000 rumah yang gaya arsitekturnya meniru istana kerajaan. Sepanjang kota itu dihiasi dengan kebun dan taman nan indah. Setiap taman terdapat vila, kios, kolam, dan air mancur. Aroma melati yang harum mewarnai segarnya udara di kota Tunis. Buah- buahan begitu melimpah. Tak heran, bila ketika itu, Tunis menjadi pusat perhatian.
5.    Masa Dinasti Usmaniyah
ketika orang-orang Spanyol menaklukan Tunisia antara 940 dan 981 Hijirah / 1534 dan 1574 Masehi, mereka menjarah Masjid-Masjid dan perpustakaan di sana, serta mengambil banyak dari koleksi buku dan manusktip perpustakaan yang sangat berharga. Kekhalifahan Turki (Utsmaniyah) yang merebut kembali Tunisia dari tangan orang-orang Spanyol memperbaiki kembali bahkan juga memperbesar Masjid Zaytuna, perpustakaan dan juga madrasahnya. Usaha yang dilakukan oleh Kekhalifahan Utsmaniyah itu membuat Masjid Zaytuna kembali menjadi pusat kebudayaan Islam. Bangsawan Turki (Bey), Ahmad Pasha I, tidak hanya me-revitalisisasi Perpustakaan Ahmadiyya, dia juga mengorganisasi dan dengan baik hati mendukung pendidikan di Zaytuna, selain menyumbangkan dalam jumlah buku pada perpustakaan masjid. Ilmu baru diperkenalkan pada 1896 termasuk fisika, ekonomi politik dan Bahasa Prancis. Di Al-Zaytuna lah di mana beberapa tokoh kebudayaan Islam Arab dicetak, di antara mereka yang terkenal adalah Taufik al-Madani, dan tentu saja termasuk Abdul-Hamid Ibnu Badis sosok yang mengembalikan identitas Islam di Aljazair pada 1940an.
C.    Metode dan Kurikulum
Mula-mula, tradisi Islam sangat mewarnai bentuk pendidikan di Tunisia. Pemahaman kandungan kandungan al-Quran menjadi prioritas, disamping ilmu pengetahuan lainnya, seperti; bahasa, sastra, ilmu sosial, ilmu kedokteran, sejarah dan sebagainya.
Proses pembelajarannya bisa dikatagorikan menjadi tiga metode, antara lain:
Pertama, metode talqin, yakni pembacaan materai pelajaran oleh guru, lalu langsung dihafalkan oleh murid.
Kedua, metode halaqoh,yakni para murid melingkari guru yang sedang mengajar. Para murid haris mendengarkan penjelasannya tanpa dituntut menjelaskannya. Metode ini hamper mendominasisetiap tempat-tempat pendidikan, baik masjid maupun rumah-rumah syikh selama berabad-abad, hingga pada zaman al-Muwahidun.
Ketiga, pada masa dinasti Hafsiah sistem halaqoh dirumbak menjadi sistem madrasah. Sedangkan pada masa Turki Usmani sekolah-sekolah dibangun, dilengkapi serta disediakannya asrama bagi guru maupun murid.
D.    Kemajuan dam Kemunduran Az-Zaitunah
1.    Tata letak kota Tunisia
Tata Kota di Era Kejayaan Lainnya sebuah kota modern, pada abad ke-13 Tunis telah tampil sebagai kota yang cantik dan elegan. Penataan kotanya begitu terencana dengan baik. Tunis adalah cerminan nilai budaya dan sosial Islam yang sesungguhnya. Kota Muslim itu ditata berdasarkan fungsi sosial-budaya tanpa melupakan nilai ekonominya.
Kota Tunis yang megah dan indah itu ditopang beberapa elemen penting yang membuatnya begitu kental bernuansa Islam. Elemen penting itu, antara lain: Masjid Tempat beribadah umat Islam itu berdiri di tengah-tengah kota. Masjid menjadi pusat aktivitas kegamaan dan keilmuan. Masjid tak hanya menjadi tempat untuk beribadah, namun juga menjadi pusat menimba ilmu pengetahuan. Di sekitar masjid berdiri universitas dan perpustakaan. Kota Zaytuna memiliki sebuah perpustakaan bernama al-Abdaliyah yang memiliki dalam jumlah besar koleksi manuskrip langka, tentu saja hal itu menarik banyak orang dari pelbagai lokasi untuk mempelajarinya.
Pusat perdagangan Di sekitar kompleks Al-Zaituna terdapat sebuah jaringan pusat perbelanjaan, seperti pasar, bazar, dan tempat belanja di pinggir jalan. Pusat perdagangan ini mencerminkan denyut perekonomian di jantung kota. Di dekat masjid terdapat penjual buku, parfum, pedagang pakaian, dan pedagang manisan buah-buahan. Permukiman penduduk Hampir di setiap pemukiman penduduk terdapat masjid, tempat umat melaksanakan shalat lima waktu. Bangunan rumah di era itu juga sudah sangat bagus dan modelnya mengikuti bentuk istana raja. Infrastuktur transportasi Jalan-jalan yang bagus menghiasi kota Tunis. Jalanan ini menghubungkan satu tempat ke tempat lainnya. Sarana transportasi seperti kuda sudah tersedia. Kasbah Kota Tunis dikelilingi oleh tembok yang sangat kuat. Tembok ini menjadi benteng pertahanan.
2.    Tata letak kota Tunisia
Meski era kejayaannya telah berlalu delapan abad silam, sejarah peradaban Islam tetap mencatat kota Tunis sebagai pusat ilmu pengetahuan. Aktivitas keilmuan menggeliat di kota itu seiring berdirinya Universitas Al-Zaituna perguruan tinggi pertama di Afrika Utara.
Universitas Al-Zaitunah mulai menjadi perguruan tinggi berpengaruh pada awal abad ke-13 M. Saat itu, kota Tunis menjadi ibu kota kekhalifahan Hafsiah. Universitas itu berhasil meluluskan seorang sarjana Muslim tersohor bernama Ibnu Khaldun. Sejak saat itulah mahasiswa dari berbagai penjuru datang dan menimba ilmu di perguruan tinggi yang mampu mencetak seorang ahli sejarah sosial pertama itu.
Orang Spanyol tak hanya menjarah kitab-kitab dan manuskrip yang penting, namun juga menghancurkan bangunan Masjid Al- Zaituna buah karya arsitektur kota Tunis di era kejayaan. Untunglah, para pengacau dari Spanyol itu segera diusir oleh pasukan tentara Muslim dari Kekhalifahan Utsmani Turki. Bangunan masjid yang diporak-porandakan kembali dipercantik. Gubernur Ustmani Turki yang ditempatkan di kota Tunis juga memulihkan perpustakaan yang dijarah dan mengembalikan geliat studi di Universitas Al-Zaituna.
Di perguruan tinggi itu, para mahasiswa mempelajari beragam ilmu, seperti Alquran, ilmu hukum, sejarah, tata bahasa, sains, dan kedokteran. Begitu banyak kitab dan manuskrip yang dihasilkan para ilmuwan di Universitas Al-Zaitunah.
Sayangnya, ketika orang-orang Spanyol menaklukan Tunisia antara (940 dan 981 H/1534 dan 1574 M), mereka menjarah Masjid-Masjid dan perpustakaan di sana, serta mengambil banyak dari koleksi buku dan manusktip perpustakaan yang sangat berharga. Kekhalifahan Turki (Utsmaniyah) yang merebut kembali Tunisia dari tangan orang-orang Spanyol memperbaiki kembali bahkan juga memperbesar Masjid Zaitunah, perpustakaan dan juga madrasahnya. Usaha yang dilakukan oleh Kekhalifahan Utsmaniyah itu membuat Masjid Zaitunah kembali menjadi pusat kebudayaan Islam. Bangsawan Turki (Bey), Ahmad Pasha I, tidak hanya me-revitalisisasi Perpustakaan Ahmadiyya, dia juga mengorganisasi dan dengan baik hati mendukung pendidikan di Zaitunah, selain menyumbangkan dalam jumlah buku pada perpustakaan masjid. Ilmu baru diperkenalkan pada 1896 termasuk fisika, ekonomi politik dan Bahasa Prancis.
Di Al-Zaitunah lah di mana beberapa tokoh kebudayaan Islam Arab dicetak, di antara mereka yang terkenal adalah Taufik al-Madani, dan tentu saja termasuk Abdul-Hamid Ibnu Badis sosok yang mengembalikan identitas Islam di Aljazair pada 1940an.
Perpustakaan Zaitunah di Tunisia, adalah yang paling kaya di antara lainnya. Memiliki beberapa bagian koleksi yang bila beberapa bagian itu dijumlah total semuanya akan mencapai ribuan koleksi. Saat itu kebanyakan pemimpin dari dinasti kekhalifahan Hafsid saling berkompetisi satu sama lainnya untuk menjadi pemimpin yang paling prestisius dalam merawat dan memperbesar koleksi buku pada perpustakaan Masjid; yang mana pernah pada suatu masa salah satu pimpinan mereka koleksi buku mencapai jumlah 100,000 volume.
Salah satu faktor yang mendorong kota Tunis menjadi kota ilmu pengetahuan adalah hijrahnya para ilmuwan dari Spanyol Muslim. Ilmuwan dari Spanyol Muslim yang mengembangkan ilmunya di Tunis itu, salah satunya, Abu Salt Umaiya. Abu Salt dikenal sebagai seorang dokter, matematikus, serta astronom. Ia lahir di Denia, Andalusia, pada 1067 M dan meninggal di Tunis pada 1134 M.
Selain itu, ada pula Abu Bakar Ibnu Said An-Nas. Dia adalah seorang ahli hukum di Spanyol Muslim yang hijrah ke Tunis. Di kota itu, dia menjadi seorang guru besar hukum di Universitas Al-Zaituna. Ketika Islam diusir dari Spanyol, para arsitek, seniman, tukang batu, dan ahli landskap meloloskan diri ke kota Tunis. Kemajuan yang sempat dicapai di Spanyol Muslim pun berpindah ke Tunis.
Mungkin saja, kemegahan dan kekayaan yang dimiliki kota Tunis itulah yang mendorong bangsa Prancis untuk menguasai dan menjajah wilayah itu pada abad ke-19 M hingga 20 M. Hingga kini, Islam masih menjadi agama resmi di Tunisia dengan jumlah pemeluk agama Islam mencapai 95 persen. Wajah Islam modern dan moderat menjadi identitas umat Islam Tunisia. Prinsip toleransi beragama dan kebebasan menjalankan ibadah di antara umat beragama sangat dijunjung tinggi. Gerakan tarekat sufi yang dulu sempat subur di Tunisia, kini tersisih karena imbas modernisasi ini.

UNIVERSITAS AL-AZHAR
A.    Latar Belakang Berdirinya Al-Azhar
Dinasti Fatimiyah adalah sebuah dinasti yang terletak di Tunisia yang di bangun pada tahun 909 M.[6] Wilayah kekuasaan Dinasti fathimiyah meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah. Berdirinya Dinasti fathimiyah dilatarbelakangi oleh Dinasti Abbasiyah. ketika itu Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang luas tidak lagi terkoordinasiakan. Kondisi ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya mempunyai tentara sendiri.[7] Diantara dinasti kecil yang memisahkan adalah Dinasti fathimiyah. Dinasti fathimiyah sendiri mengambil nama dari Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah SAW., dinasti ini mengeklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah. Menurut mereka, Ubaidillah al-Mahdi yang memiliki Mazhab Syi’ah Isamailliyah, sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Isma’il bin Ja’far Ash-Shidiq. Sedangkan Isma’il merupakan Imam Siy’ah yang ketujuh.[8] Sehingga pemimpin gerakan ini  Ubaidillah bin al-Mahdi mengumumkan berdirinya Dinasti fathimiyah yang terlepas dari kekuasan Dinasti Abbasiyah. Ia memperkuat dan mengonsolidasikan khalifahnya di Tunisia dengan bantuan Abdullah al-Syi’ii seorang dai Ismailiyah yang sangat besar perannya dalam mendirikan Dinasti fathimiyah tersebut.[9]
Pada masa khalifah yang keempat dari Dinasti fathimiyah yaitu Abu Tamim Ma’ad dengan bergelar Mu’iz Lidinillah[10] ketika Mesir dilanda kerusuhan serius pada tahun 968 M. Mu’iz segera memerintahkan Jauhar untuk mengerahkan menaklukan Mesir. Pada tahun 969 M, Jauhar berhasil menaklukan Fustat tanpa suatu perlawanan. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Dinasti Ikhsidiyah di Mesir, dan Mesir memasuki era baru di bawah kekuasaan Dinasti fathimiyah. Jauhar segera membangun kota Fustat menjadi kota baru dengan nama al-Qahirah (kairo).[11]
Setelah membangun lengkap dengan istannya Pada tahun 362 H/973 M, kalifah Mu’iz Lidinillah memindahkan ibu kota Dinasti dari Kairawan di Tunisia ke al-Qahirah di Mesir. pada tahun itu pula diresmikannya Masjid al-Azhar yang di dalamnya berdiri Universitas al-Azhar, yang berfungsi sebagi pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan mendasarkan pada madzhab Syiah Ismailiyah.[12]
Latarbelakang berdirinya Universitas al-Azhar adalah untuk kepentingan politik oleh penguasa Dinasti Fathimiyah yang bermazhab Syiah, dengan tujuannya, antara lain:
1.    Berusaha mengajak masyarakat untuk memeluk madzhab Syiah Ismailiyah.[13]
2.    Mencetak kader-kader Mubaligh yang bertugas meyakinkan masyarakat akan kebenaran yang dianutnya.[14]
3.    Menjadikan madzhab ini sebagai madzhab utama di Negara Mesir.[15]
B.     Perkembangan Al-Azhar
Pola pendiddikan al-Azhar dalam perkembangannya melalui periode-periode dalam kekuasaan khalifah, antara lain:
1.    Masa Dinasti Fathimiyah (361-567 H/972-1171 M)
Al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah merupakan alat dan tunggangan politik kekhalifahan, sekaligus penyebaran doktrin ajaran syiah. Pada masa itu sistem pengajaran terbagi menjadi empat kelas, yaitu:
Pertama, kelas umum yang diperuntukan bagi orang yang datang ke al-Azhar untuk mempelajari al-Quran dan penafsirannya. Kedua, kelas para mahasiswa Universitas al-Azhar kuliah dengan para dosen yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabannya. Ketiga, kelas Darul Hikam, kuliah formal ini diberikan oleh para mubalig seminggu sekali pada hari Senin yang dibuka untuk umum dan pada hari Kamis dibuka khusus untuk mahasiswa pilihan. Keempat, kelas nonformal, yaitu kelas untuk pelajar wanita.[16] 
Pada masa al-Aziz, al-Azhar juga dilengkapi dengan asrama untuk para fuqaha’ (dosen, tenaga pendidik) serta semua urusannya ditanggung oleh Khalifah.[17]
2.    Masa Dinasti Ayyubiyah (567-648 H/1171-1250 M)
Ketika kekuasan beralih dari Dinasti Fathimiyah  ke Dinasti Ayyubiyah, al-Azhar mengalami banyak perubahan dengan pergantian para penguasa di negeri tersebut. Sebenarnya tidak banyak dapat diceritakan tentang al-Azhar dibawah kerajaan Ayyubiyah sebab semenjak kerajaan itu berdiri menggantikan kerajaan Fathimiyah ditutupnya al-Azhar baik segi masjid untuk sholat jum’at ataupun sebagai universitas. Alasanya cukup kuat, sebsb kerajaan Fathimiyah mempropagandakan mazhab syiah, dimana al-Azhar sebagai media utamanya. sedang Sholahuddin al-Ayyubi dan seluruh penguasa dikerajaan Ayyubiyah adalah bermazhab Sunni. tepatnya mazhab Syafi’i.[18] Tetapi tertutupnya al-Azhar bagi kegiatan-kegiatan agama dan pendidikan tidak berarti kerajaan Ayyubiyah tidak memiliki kegiatan agama dan pendidikan. Sholahuddin al-Ayubbi membuka madrasah sebagai sarana perkuliahan, cuma sekarang tidak dibawah nauangan al-Azhar. Jadi usaha kerajaam Ayyubiyah ini bertujuan melemahkan pengaruh syi’ah yang selama ini dipelopori oleh al-Azhar di kota Cairo sendiri tidak kurang dari 25 kuliah (tahap universitas) didirikan oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kuliah-kuliah itu yang terkenal adalah Manazil al-‘Iz, al-Kulliyah al-Adiliyah, al-Kulliyah al- Arsufiyah, al-Kulliyah al-Fadiliyah, al-Kulliyah Azkasyiyah, dan al-Kulliyah al-Asyuriah.[19]
3.    Masa Dinasti Mamalik (648-923 H/1250-1517 M)
Sejak satu abad al-Azhar ditutup lebih tepatnya 98 tahun[20] pada masa kekhalifahan Solahuddin al-Ayyubi, dan kira-kira dari pemerintahan Dinasti Mamalik. Pada tahun 665 H seorang Amir mengajukan kepada sultan al-Zahir Baibars untuk membuka kembali al-Azhar tempat untuk shalat Jum’at, ternyata usulannya diterima dan disambut baik oleh Baibars. Sejak itu, al-Azhar dibuka kembali yang sebelumnya hamper satu abad ditutup, sedangkan pendaanaannya dibiayai oleh Amir dari uang pribadinya untuk perbaikan masjid itu.[21] Semenjak saat itulah al-Azhar menempati kembali  kedudukanyang pernah dipunyainya dibawah Dinasti Fatimiyah, yaitu sebagai lembaga agama dan pendidikan. Semenjak itu pula ulama-ulama dari seluruh penjuru dunia Islam berkunjung ke Mesir untuk belajar dan mengajar di al-Azhar.
Diantara ulama-ulama terkenal baik dari luar Mesir yang datang ke al-Azhar maupun ulama-ulama dari Mesir sendiri, yang dalam sejarah Mesir belum pernah berkumpul begitu banyak ilmuan dan ulama dalam berbagai bidang dalam suatu waktu. Diantara nama-nama itu, antara lain:
a)    Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M).
b)   Abu al-Abbas Ahmad al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M).
c)    Taqiyuddin Ahmad al-Magrizi (w. 645 H/1441 M).
d)   Ibn Hajar al-Asqallani (w. 852 H/1448 M).
e)    Badruddin Mahmud al-‘Aini (w. 855 H/1451 M).
f)    Sirajuddin al-Balqimi (w. 868 H/1464 M).
g)   Syarifuddin al-Mennawi (w. 871 H/1467 M).
h)   Abu al-Mahasin bin Taghi Bardi (w. 874 H/1470 M).
i)      Syamsuddin al-Sakhawi (w. 902 H/1497 M).
j)     Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505 M).
k)   Muhammad bin Ahad bin Ilyas (w. 930 H/1523 M).[22]
C.    Metode dan Kurikulum Pendidikan
Pada mulanya pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan institusi pendidikan yang lain, yaitu sistem ber-halaqah (melingkar); seorang pelajar bebas memilih guru dan dan pindah sesuai dengan kemauan. Umumnya guru atau syaikh yang mengajar itu duduk bersama para pelajar, tetapi kadang guru duduk dikursi ketika menerangkan kitab yang diajarkannya. Disamping itu, metode diskusi sangat dikembangkan sebagai metode dalam proses pembelajaran antar pelajar, seorang guru hanya berperan sebagai fasilitator dan memberikan penajamandari materi yang didiskusikan.[23]
Pada masa Fatimiyah, materi pelajaran yang diberikan di al-Azhar, disamping tentang ke-Fatimiyah-an, juga dipelajari ilmu naqliyah atau Syar’iyyah, antara lain: Ilmu Tafsir, Qira’at, Ilmu Hadits, Fikih, Ilmu Kalam, Nahwu, Lughat,al-Bayan, dan adab. Sedangkan  ilmu aqliah, antara lain: Filsafat, Arsitektur, Nujum, Musik, kedokteran, sihir, sejarah dan geografi.[24] Diantara ulama yang turut belajar di al-Azhar pada masa ini adalah:
1.    Hasan ibn Ibrahim, yang lebih dikenal dengan Ibnu Zulaq (w. 387 H). Karena kecerdasaannya, ia diberi penghargaan untuk menjadi tenaga kerja di al-Azhar. Diantara karangannya adalah Kitab Fadhailu Mishr, Kitab Qudhatu Mishr, al-’Uyun al-Da’j.
2.    Al-Amir al-Mukhtar ‘Izzul Mulk Muhammad ibn Abdillah (w. 450 H). Ia seorang pakar dalam bidang politik, administrasi, dan sejarah. Diantara karyanya adalah Kitab al-Tarikh al-Kabir, yang dikenal dengan Tarikh Mishr.
3.    Abu Abdillah al-Qudha’I (w. 454 H). Diantara karyanya adalah Manaqib al-Imam al-Syafi’i.
4.    Abu Ali Muhammad ibn al-Hasan ibn al-Hitsam(w.436 H). Ia ilmuan dalam bidang teknik dan filsafat, dan matematika.[25]
Pada masa Ayyubiyah semua kegiatan di al-Azhar ditutup, karena menganut mazhab yang berbeda, maka hak-hak yang telah diberikan Dinasti Fatimiyah dihentikan pada masa Dnasti Ayyubiyah, diantaranya pencabutan hak menyampaikan khutbah.[26] Di dalam buku Salaby (1954) ada disebutkan sekolahan-sekolahan termasuk di Mesir, Jarusaalem, Damsyik, dan lain-lain, malahan termasuk juga sekolah-sekolah ikhtisas seperti kedokteran.[27]
Pada masa Mamalik, sistem pembelajaran di al-Azhar adalah para mahasiswa diberi kebebasan memilih mata kuliah yang dipelajarinya, sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasai oleh masing-masing dosen. bagi mahasiswa yang sudah menyelesaikan kuliahnya kepada seorang dosen, maka ia akan diberi syahadah (ijazah), yang berisi nama mahasiswa, dosen, mazhab, dan tanggal ijazah dikeluarkan.
Diantara ulama yang bertugas di al-Azhar pada masa Mamalik adalah:
1.    Ali Ibn Yusuf Ibn Jarir al-Lakhmi (W. 713 H/1313 M), sebagai dosen dalam penelitian.
2.    Qiwamuddin al-Kirmani, sebagai dosen dalam ilmu fikih dan ilmu qira’at.
3.    Syamsuddin al-Ashbahani, sebagai dosen dalam bidang pemikiran.
4.    Syarifuddin al-Zawawi al-Maliki.
5.    Qunbur ibn Abdillah al-Sibziwani (W. 801 H), sebagai dosen dalam ilmu-ilmu aqliyah.
6.    Badruddin Muhammad ibn Abi Bakar al-Dimamaini (W. 827 H/1424 M), sebagai dosen dalam ilmu nahwu, nujum, dam fikih.[28]
Demikianlah al-Azhar di masa kejayaannya. Sebagai sebuah universitas pertama di dunia. yang mencetak ilmuwan-ilmuwan dan ulama-ulama Muslim. Sebuah kesatuan ilmu pengetahuan yang barang kali belum bisa dicapai umat Muslim setelahnya sampai saat ini.
D.    Kemajuan dan kemundurannya
Kemajuan pada masa Fatimiyyah, antara lain: Pertama,  khalifah dan wazir memperbanyak buku ilmu pengetahuan sehingga perpustakaan istana menjadi perpustakaan yang terbesar pada masa itu, yang diberi nama “Dar al-Ulum” yang berisi 600.000 jilid buku. Kedua, Mendirikan jamiah ilmiah akademik (lembaga riset) pada tahun 309 H, bangunan yang disebut rumah kebijaksanaan (Bait al-Hikmah) para mahasiswa bebas memimjam dan menyalin buku yang diinginkan[29] dan para mahasiswa tanpa harus sibuk mencari rezeki, sebab semuanya sudah dijamin pemerintah.
Pada masa Ayyubiyyah, walaupun segala aktivitas al-Azhar ditutup, tetapi khalifah Ayyubiah mendirikan madrasah-madrasah yang menjadi pusat studi Islam yang amat penting, karena al-Azhar sebagai induk madrasah yang tidak ada rifalnya dimanapun, para ulma dari berbagai Negara mengunjungi al-Azhar untuk belajar.
Pada masa Mamalik, kebijaksanaan dan perhatian pemerintah terhadap al-Azhar sangat kondusif untuk pengembangan al-Azhar sebagai perguruan tinggi. Diantaranya mendapatkan wakaf dari para sultan dan umara yang tujuannya ilmu pengetahuan. Harta wakaf sampai saat ini digunakan untuk membayar gaji para dosen dan karyawan, pemberian beasiswa baik dari dalam maupun dari luar.[30]
Prof Dr. Azyumardi Azra berpendapat, sebagai sebuah perguruan tinggi yang sudah berusia tua, al-Azhar pun mengalami pasang dan surut dalam perkembangannya. sejak Dinasti Usmani (1517-1798 M) pamor al-Azhar mulai menurun , sehimgga menjadi alasan kuat bagi penguasa pembaru seperti Muhammad Ali untuk campur tangan lebih jauh dalam pembenahan al-Azhar sejak paroan pertama abad ke-19. Kenyataan inilah yang menjadi preseden lenyapnya independensi al-Azhar sebagai lembaga akademis, yang pada gilirannya mempengaruhi otoritas atau kewibawaannya, khususnya dalam kekuasaan politik, hingga dewasa ini.[31]   
 Stagnasi keilmuwan yang terjadi kurang lebih 200an tahun tentu membuat ilmu pengetahuan aqliyah umat Islam tertinggal jauh. Stagnasi yang terus berlanjut hingga beberapa puluh tahun hingga sampailah pada masa kepemimpinan Muhammad Ali, seorng perwira Turki, yang berhasil menjadi penguasa tunggal Mesir setelah berhasil mengusir tenara Perancis. Dilanjutkan dengan perjuangan Muhammad Abduh, yang melakukan perubahan karena berangkat ketertarikan terhadap pemikiran Jamaluddin al-Afghani, dan akhirnya Muhammad Abduh Abdullah Nadzim dan beberapa alumni al-Azhar lain melakukan gerakan pembaharuan.
Ridwan Sayyed membagi kemodern-an al-Azhar ke dalam 3 fase, yakni fase Muhammad Abduh, Fase Abad 20 dan Fase 21. Pada fase Muhammad Abduh merupakan fase rintisan yang telah dilakukan al-Azhar dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan dan rasionalisasi pendidikan Islam.[32] Muhammad Abduh memandang perlunya integrasi pendidikan Islam dengan pendidikan umum. Beliau menganggap perlunya diajarkan ilmu pengetahuan modern di al-Azhar, di samping memperkuat ilmu-ilmu agama.[33] Hasil dari perjuangan beliau, maka pada masa ini mulai dimasukkan kurikulum modern, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah. Di samping masjid didirikan Dewan Administrasi al-Azhar (‘idarah al-Azhar) dan diangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syaikh. Juga dibangun Rauq al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemondokan untuk guru dan mahasiswa.[34]
Kedua, fase abad ke- 20. Pada  fase ini, al-Azhar sudah memulai untuk mengintegrasikan diri dengan pemerintah. Al-Azhar juga mulai beradaptasi dengan menjawab beberapa isu kontemporer dalam kaitan dengan isu modern dan modial. Pada masa ini pendidikan menjadi 4 jenjang, (1) pendidikan rendah selam 4 tahun; (2) pendidikan menengah selama 5 tahun; (3) pendidikan Tinggi selama 4 tahun; (4) Pendidikan Tinggi Keterampilan selama 5 tahun.[35]  
Ketiga, fase abad 21. Pada fase ini, al-Azhar secara ekspisit menjadikan dirinya sebagai gerakan moderat. Salah satu tuntunan yang harus segera diimplementasikan adalah ijtihad dan pengaturan metodologi konklusi hukum, yang memadukan antara teks-teks klassik dengan perangkat-perangkat pengetahuan modern. Pada fase ini, al-Azhar mulai mempelajari sistem penelitian yang dilakukan universitas barat, dan mengirim alumni terbaiknya ke Eropa dan Amerika.
E.     Pembaharuan Al-Azhar
Pada abad ke-21 ini, Al Azhar mulai memandang perlunya mempelajari sistem penelitian yang dilakukan oleh Universitas di Barat, dan mengirim Alumni terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amirika. Tujuan mengirim ini adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiah di tingkat internasional sekaligus upaya perbandingan dan pengukuhan pemahaman Islam yang benar. Cukup banyak duta Al Azhar yang berhasil meraih gelar Ph.D dari Universitas luar tersebut, diantaranya ialah: Syekh DR. Abdul Halim Mahmud, Syekh DR. Muhammad Al Bahy. [36]
Sebelumnya, pada tahun 1930 M, keluar undang undang no 49 yang mengatur Al Azhar mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan membagi Universitas Al Azhar menjadi tiga fakultas yaitu: Syari’ah, Usuluddin, Bahasa Arab. Fakultras induk Syari’ah wal qonun di Cairo merupakan bangunan pertama yang berdiri pada tahun 1930 M. semula berama Syari’ah, lalu pada tahun 1961 dirubah menjadi nama seperti sekarang. Fakultas induk Usuluddin dan bahasa Arab di Kairo juga didirikan pada tahun 1930 M. penjurusan diatur kembali pada tahun 1961 M. fakultas Dakwah islamiyyah didirikan dengan keputusan presiden (keppres) no 380 tahun 1978 yang dikeluarkan pada 16 Ramadlon 1398 H. (20 Agustus 1978).
Fakultas Dirasah Islamiyah wal Arabiyah memulai kuliahnya pada tahun 1965 M. sebagai salah satu jurusan dari Fakultas Syari’ah. Pada tahun 1972 keluar keppres no 7 yang menjadikan fakultas ini sebagai lembaga tersendiri dengan nama Ma’had Dirasat Al Islamiyah Wal Arabiyah (Institut of Islamic and Arabic studies) namun pada tahun 1976 M. keluar keputuhan presiden nomor 299 yang kembali menjadikan institut ini sebagai fakultas tersendiri, dengan jurusan: Usuluddin Syari’ah Islamiyah Bahasa dan Sastra Arab.[37]
Angin pembaharuan kembali berhembus di Al Azhar pada 5 mei 1961 M. dimasa kepemimpinan Syekh Mahmoud Syalthout. Peran Syaikh Al Azhar diciutkan menjadi jabatan simbolis sehingga kurang mempunyai pengaruh langsung terhadap lembaga pendidikan yang ada dibawah pimpinannya. Undang-undang pembaharuan ini disebut undang-undang revosusi Mesir nomor 103 tahun 1961 M. Undang-undang ini memberikan kemungkinan besar perubahan structural pendidikan di Al Azhar, sehingga diantaranya membolehkan lulusan SD atau SMP Al Azhar untuk melanjutkan studinya ke SMP atau SMA milik Departemen pendidikan, atau sebaliknya. Dalam ruang lingkup pendidikan tinggi, disamping fakultas-fakultas keislaman, ditambahkan pula berbagai fakultas baru seperti: Tarbiyah, Kedokteran, Perdagangan/Ekonomi, Sains, Pertanian, Teknik, Farmasi, dan sebagainya. Juga dibangun fakultas khusus putrid (Kulliyatu al-Banat) dengan berbagai jurusan.
Al Azhar mempunyai 3 rumah sakit Universitas: Husein Hospital, Zahra’ Hospital, dan Bab el Sya’riah Hospital. Sementara itu, Nasser Islamic Mission City (Madinat Nasser Lil Bu’uts Al-Islamiyah) untuk orang asing dibuka pada bulan September 1959 M.
Universitas (Jami’ah) Al Azhar hanyalah salah satu lembaga resmi yang dimiliki Al Azhar masih ada lembaga lain yang sempat terbentuk, seperti:
1.    Lembaga pendidikan Dasar dan Menengah (Al Ma’ahid Al-Azhariyah).
2.    Biro Kebudayaan dan missi Islam (Idarah Ats-tsaqofah wal Bu’uts Al-Islamiyah).
3.    Majlis tinggi Al Azhar (Al-Majlis Al-A’la Lil Azhar)
4.    Lembaga Riset Islam (Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah).
5.    Hai’ah Ighatsah Al-Islamiyah.
Sejak mula berdirinya, studi Al-Azhar selalu terbuka untuk semua pelajar dari seluruh dunia, hingga kini Universitas Al-Azhar memiliki lebih dari 50 Fakultas yang tersebar diseluruh pelosok Mesir dengan jumlah Mahasiswa/i melebihi angka 200 ribu orang. Itulah potret Al-Azhar yang tetap tegar dalam kurun usia senja.
Demikian banyak perkembangan yang dialami al-Azhar, namun tidak sejalan dengan sistem pendidikan dan birokrasi di al-Azhar. Berbeda dengan kebanyakan universitas lain yang sudah memberlakukan sistem modern dan canggih, al-Azhar al-Syarif hingga kini masih eksis dengan sistem klasiknya. Al-Azhar menerapkan sistem pendidikan dengan jenjang empat tahun. Tidak adanya absensi di semua tingkat kuliah layaknya universitas-universitas lain, kecuali beberapa tingkat saja. Mahasiswa di sini begitu bebas dalam perkuliahan, hal ini memang terlihat rancu dan kurang kondusifnya sistem pembelajaran di al-Azhar.
Kendati demikian, ada filosofi yang harus diketahui di balik sistem klasik al-Azhar. Al-Azhar al-Syarif benar-benar mendidik seorang pencari ilmu untuk mencari bukan dicari, untuk menunggu bukan ditunggu dan untuk mengambil bukan diambil, hal ini sesuai arti mahasiswa dalam bahasa Arab “talib” yang diambil dari kata “talaba-yatlubu” yaitu mencari. Al-Azhar mendidik para mahasiswanya untuk mencari ilmu di setiap sudut negeri ini. Karena al-Azhar sesungguhnya adalah sebuah masjid di mana terdapat halakah-halakah ilmu. Di sana diajarkan berbagai macam bidang ilmu yang tidak didapatkan di bangku kuliah, terlebih ilmu-ilmu turats (klasik).
Al-Azhar pun terkenal dengan sistem sanad (riwayat), di mana seorang murid mengambil sebuah ilmu langsung dari gurunya dengan bertatap muka dan tentunya para murid pun diuji seberapa jauh ia menguasi ilmu tersebut. Sistem ini ternyata sudah ada semenjak Rasulullah SAW dan dipraktikkan oleh para Sahabat dan ulama sesudahnya. Sistem sanad ini pulalah yang menjadikan kelimuan Islam tetap terjaga dari masa ke masa.
Hal menarik lain dari al-Azhar adalah sistem administrasi yang masih manual. Tidak seperti universitas di Indonesia yang sudah memakai komputer dan alat canggih lainnya. Di al-Azhar, administrasi masih menggunakan tulisan tangan. Hal ini pula yang membuat para mahasiswa harus mengantre panjang, bahkan harus menunggu berhari-hari untuk menyelesaikan administrasi kuliah. Tapi hal itu tidak membuat para mahasiswa surut dan malas. Banyak di antara mereka yang sabar menunggu bahkan,  menurut sebagian mereka,  ini merupakan pembelajaran agar sabar dalam segala hal.
Begitu juga dengan ruang kuliah, al-Azhar masih menggunakan meja dan bangku panjang yang bisa diduduki sekitar lima sampai tujuh orang, yang seharusnya mahasiswa duduk sendiri-sendiri layaknya perkuliahan lain. Al-Azhar bukannya tidak mampu untuk membeli komputer ataupun meja dan bangku layaknya sebuah universitas, tapi inilah sifat kesederhanaan yang diajarkan oleh al-Azhar kepada para mahasiswanya.
Al-Azhar menggunakan sistem paket, jadi nilai mata kuliah yang diujikan ketika semester ganjil dan genap disatukan. Bagi mereka yang membawa lebih dari dua mata kuliah, akan mengulang selama setahun di kelas yang sama dengan mata kuliah yang ia bawa. Sedangkan mereka yang membawa satu atau dua mata kuliah, ia tetap naik kelas dan hanya diuji ulang mata pelajaran tersebut tanpa mengulang satu tahun di kelas yang sama.
Di sinilah terlihat ketatnya sistem ujian dan penialan di al-Azhar. Hal ini tidak lain karena al-Azhar ingin mengajarkan kepada para mahasiwanya sebuah kesungguhan dalam belajar dan mencari ilmu. 
F.     Kontribusi Al-Azhar untuk Indonesia
Jasa terpenting al-Azhar bagi kemajuan umat Islam adalah di bidang pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Sejak pemerintahan Dinasti Fatimiyyah, Kairo telah menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan ilmiah dunia Islam.  Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tinggi saat ini, telah banyak melahirkan ulama yang tak dapat diragukan lagi dari aspek keilmuwannya, dan telah menyumbangkan khazanah keilmuwan terutama keislaman. Diantaranya adalah Imam Subkhi, Jalaluddin as-Suyuti, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqolani.
Bidang ilmu pengetahuan adalah bidang yang paling dominan pengaruhnya, termasuk di Indonesia sendiri. Transmisi keilmuwan al-Azhar ke Indonesia, pada periode kontemporer, mengalir setidaknya pada tiga jalur.  Pertama, kepulangan mahasiswa dari sana yang kemudian sedikit banyak menularkan ilmu yang diperolehnya, baik melalui aktifitas mengajar, menulis buku atau artikel di media. Kedua, masuknya buku-buku karya pemikir Timur Tengah, khususnya al-Azhar yang dibawa oleh mahasiswa dan alumni maupun tenaga kerja ynag meskipun tidak tersebar luas tetapi kemudian banyak diterjemahkan dan banyak beredar di tanah air. Ketiga, kedatangan para da’i dan guru dari al-Azhar, baik atas undangan orang Indonesia, maupun inisiatif sendiri. Lulusan-lulusan al-Azhar tak hanya disebar ke Indonesia saja, akan tetapi juga negara-negara Muslim di seluruh dunia.
Dari ketiga faktor yang dipaparkan di atas, faktor pertamalah yang dominan. Hal ini dikarenakan dalam aktifitas pendidikan inilah ada proses mengkonstruk maupun merekonstruk pemikiran seseorang. Bagaimana seorang pendidik memiliki peranan penting dalam membuka wacana, mengenalkan bahkan mendoktrin siswa. Apalagi jika dipadukan dengan posisi penting dalam dunia pendidikan maupun pemerintahan. Tentunya akan mudah sekali bagi sosok tertentu untuk mentransmisi keilmuwan dari al-Azhar.
Setidaknya peran transmisi, alumni al-Azhar memiliki peranan yang dapat dibedakan menjadi tiga yakni kelompok dosen dan ustadz, muballigh atau pembicara, dan penulis.
Corak pemikiran yang dibawa oleh alumni  al-Azhar secara garis besar dibagi menjadi tiga, kelompok revivalis, kelompok tradisionalis, dan kelompok reformis.

Kesimpulan
Awal dari unversitas baik az-Zaitunah maupun al-Azhar merupakan sebuah masjid, namun pada perkembangannya berubah menjadi universitas tertua di dunia. Hal ini merupakan bukti historis sebagai produk kemajuan peradaban Islam di afrika utara, baik itu Tunisia maupun Mesir. Banyak ulama-ulama yang berasal dari kedua universitas itu, seperti Ibnu Khaldun, Abu Ali Muhammad, Abdilldh al-Qudha’I, Hasan bin Ibrahim, dan masih banyak lagi para ulama-ulama lainnya.
Universitas ini juga sangat perperan dalam kemajuan ilmu pengetahuan, terlebih ilmu-ilmu keislaman yang di kunjungi oleh para muslim dunia yang ingin belajar disana dari dahulu sampai sekarang.

Daftar Pustaka

Munir Samsul. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Cet. 2. Jakarta: Amzah.

Langgulung Hasan. 2001. Pendidikan Islam dalam Abad ke 21. Cet. ke-2.  Jakarta: Radar Jaya Offset.


http://muminatus.blog.com/kilas-balik-universitas-zaituna/. Diakses jam 20.00, tgl 1 april 2016.

Nata Abuddin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam (Pada Priode Klasik dan Pertengahan). Cet. 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Suwito. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Cet. 1. Jakarta: Kencana.

Azra Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasai Menuju Melenium Baru. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.

Misrawi Zuhairi. 2010. Al-Azhar: Menara ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan. Jakarta: Kompas.

Assegaf Abd. Rachman. 2013.  Aliran Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

[1] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet. 2, hlm. 125.
[2] Ibid, hlm.126.
[3] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad ke 21, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2001), Cet. ke-2, hlm. 18.
[6] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Pada Priode Klasik dan Pertengahan), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. 1, hlm. 89.
[7] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah fi al-Maghribi, Mishr, Suriah wa al-Biladi al-Arab, (Mesir, 1957, Cet. ke-2), hlm. 426. Dikutip dari Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana,2005), Cet. 1, hlm. 122.
[8] Samsul Munir, Op. Cit, hlm. 254.
[9] Suwito, Op. Cit, hlm. 122.
[10] Samsul Munir, Op. Cit, hlm. 257.
[11] Ibid, hlm. 258.
[12] Suwito, Op. Cit, hlm. 123.
[13] Ibid, hlm. 124.
[14] Abuddin Nata, Op.Cit, hlm. 90.
[15] Suwito, Op. Cit, hlm. 124.
[16] Abuddin Nata, Op. Cit, hlm. 91.
[17] Ibid, hlm. 92.
[18] Hasan Langgulung, Op.Cit, hlm. 43.
[19] Ibid, hlm. 43.
[20] Ibid, hlm. 44.
[21] Abuddin Nata, Op. Cit, hlm. 94.
[22] Hasan Langgulung, Op. Cit, hlm.45.
[23] Abuddin Natan, Op. Cit, hlm. 96.
[24] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah fi al-Maghribi, Mishr, Suriah wa al-Biladi al-Arab, (Mesir, 1957, Cet. ke-2), hlm. 436. Dikutip dalam, Suwito, Op. Cit, hlm. 131.
[25] Al-Azhar al-Syarif, Al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, hlm. 67. Dikutip dalam, Ibid, hlm.183.
[26] Hamid Hasan, Ali Asyaraf, Konsep Pendidikan Islam, (Yokyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm. 41. Dikutip dalam, Abuddin Natan, Op. Cit, hlm.93.
[27] Hasan Langgulung, Op. Cit, hlm. 38.
[28] Suwito, Op. Cit, 183-184.
[29] Ibid,  hlm. 130.
[30] Ibid, hlm. 182.
[31] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasai Menuju Melenium Baru, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 243-244. Dikutip dalam, Ibid, hlm. 182.
[32] Zuhairi Misrawi, al-Azhar: Menara ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 318.
[33] Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 170.
[34] Abuddin Nata, Op. Cit, hlm. 192.
[35] Ibid, hlm. 379.
[36] Antonio, Ensiklopedi., 162.
[37] Ibid.

1 comment:

  1. ASSALAMUALAIKUM SAYA INGIN BERBAGI CARA SUKSES SAYA NGURUS IJAZAH saya atas nama bambang asal dari jawa timur sedikit saya ingin berbagi cerita masalah pengurusan ijazah saya yang kemarin hilang mulai dari ijazah SD sampai SMA, tapi alhamdulillah untung saja ada salah satu keluarga saya yang bekerja di salah satu dinas kabupaten di wilayah jawa timur dia memberikan petunjuk cara mengurus ijazah saya yang hilang, dia memberikan no hp BPK DR SUTANTO S.H, M.A beliau selaku kepala biro umum di kantor kemendikbud pusat jakarta nomor hp beliau 0853-2174-0123, alhamdulillah beliau betul betul bisa ngurusin masalah ijazah saya, alhamdulillah setelah saya tlp beliau di nomor hp 0853-2174-0123, saya di beri petunjuk untuk mempersiap'kan berkas yang di butuh'kan sama beliau dan hari itu juga saya langsun email berkas'nya dan saya juga langsun selesai'kan ADM'nya 50% dan sisa'nya langsun saya selesai'kan juga setelah ijazah saya sudah ke terima, alhamdulillah proses'nya sangat cepat hanya dalam 1 minggu berkas ijazah saya sudah ke terima.....alhamdulillah terima kasih kpd bpk DR SUTANTO S.H,M.A berkat bantuan bpk lamaran kerja saya sudah di terima, bagi saudara/i yang lagi bermasalah malah ijazah silah'kan hub beliau semoga beliau bisa bantu, dan ternyata juga beliau bisa bantu dengan menu di bawah ini wassalam.....

    1. Beliau bisa membantu anda yang kesulitan :
    – Ingin kuliah tapi gak ada waktu karena terbentur jam kerja
    – Ijazah hilang, rusak, dicuri, kebakaran dan kecelakaan faktor lain, dll.
    – Drop out takut dimarahin ortu
    – IPK jelek, ingin dibagusin
    – Biaya kuliah tinggi tapi ingin cepat kerja
    – Ijazah ditahan perusahaan tetapi ingin pindah ke perusahaan lain
    – Dll.
    2. PRODUK KAMI
    Semua ijazah DIPLOMA (D1,D2,D3) S/D
    SARJANA (S1, S2)..
    Hampir semua perguruan tinggi kami punya
    data basenya.
    UNIVERSITAS TARUMA NEGARA UNIVERSITAS MERCUBUANA
    UNIVERSITAS GAJAH MADA UNIVERSITAS ATMA JAYA
    UNIVERSITAS PANCASILA UNIVERSITAS MOETOPO
    UNIVERSITAS TERBUKA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
    UNIVERSITAS TRISAKTI UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
    UNIVERSITAS BUDI LIHUR ASMI
    UNIVERSITAS ILMUKOMPUTER UNIVERSITAS DIPONOGORO
    AKADEMI BAHASA ASING BINA SARANA INFORMATIKA
    UPN VETERAN AKADEMI PARIWISATA INDONESIA
    INSTITUT TEKHNOLOGI SERPONG STIE YPKP
    STIE SUKABUMI YAI
    ISTN STIE PERBANAS
    LIA / TOEFEL STIMIK SWADHARMA
    STIMIK UKRIDA
    UNIVERSITAS NASIONAL UNIVERSITAS JAKARTA
    UNIVERSITAS BUNG KARNO UNIVERSITAS PADJAJARAN
    UNIVERSITAS BOROBUDUR UNIVERSITAS INDONESIA
    UNIVERSITAS MUHAMMADYAH UNIVERSITAS BATAM
    UNIVERSITAS SAHID DLL

    3. DATA YANG DI BUTUHKAN
    Persyaratan untuk ijazah :
    1. Nama
    2. Tempat & tgl lahir
    3. foto ukuran 4 x 6 (bebas, rapi, dan usahakan berjas),semua data discan dan di email ke alamat email bpk sutantokemendikbud@gmail.com
    4. IPK yang di inginkan
    5. universitas yang di inginkan
    6. Jurusan yang di inginkan
    7. Tahun kelulusan yang di inginkan
    8. Nama dan alamat lengkap, serta no. telphone untuk pengiriman dokumen
    9. Di kirim ke alamat email: sutantokemendikbud@gmail.com berkas akan di tindak lanjuti setelah pembayaran 50% masuk
    10. Pembayaran lewat Transfer ke Rekening bagian blangko ijazah.
    11. PENGIRIMAN Dokumen Via JNE
    4. Biaya – Biaya
    • SD = Rp. 1.500.000
    • SMP = Rp. 2.000.000
    • SMA = Rp. 3.000.000
    • D3 = 6.000.000
    • S1 = 7.500.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
    • S2 = 12.000.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
    • S3 / Doktoral Rp. 24.000.000
    (kampus terkenal – wajib ikut kuliah beberapa bulan)
    • D3 Kebidanan / keperawatan Rp. 8.500.000
    (minimal sudah pernah kuliah di jurusan tersebut hingga semester 4)
    • Pindah jurusan/profesi dari Bidan/Perawat ke Dokter. Rp. 32.000.000

    ReplyDelete