A.
Ontologi
Ilmu Sains
1.
Pengertian
Ontologi Ilmu Sains
Istilah
ontologi berasal dari kata Yunani onta yang berarti sesuatu yang
sungguh-sungguh ada, kenyataan yang seseungguhnya , dan logos yang
berarti teori atau ilmu.[1] Noeng
Muhadjir dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan,ontologi membahas tentang yang ada, yang
tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada
yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens
Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa objek formal dari ontologi
adalah hakikat seluruh realitas.[2]
Menerut
Dr. Imam Khanafie Al-Jauharie, M.Ag dalam bukunnya yang berjudul Filsafat
Islam Pendekatan Tematik Ontologi yaitu pertanyaan-pertanyaan yang
berkenaan denagn eksistensi keberadaan atau wujud segala sesuatu sampai pada
aspek hakikat, realitas yang sejati dari sesuatu. dengan kata lain ontology
merupakan sarana umtuk menjawab pertanyaan apa (what).[3]
Sedangkan
menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Persepektif
mengatakan, ontologi membahas apa yang dingin kita ketahui, seberapa jauh kita
ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang
ada.[4]
Dalam
mengklarifikasiakan segala yang ada, Ibnu Sina menggunakan cara yang sering
dipakai oleh golongan mutakallimin, yaitu bahwa segala sesuatu yang ada
dapat dikelompokkan menjadi dua:
a) Yang wajib
ada (Wajibul Wujud)
b) Yang
mungkin adanya (Mumkinul Wujud)
Yang
dimaksud dengan wajib adalah sesuatu yang tidak dapat digambarkan tidak adanya.
Sedangkan yang dimaksud yang mungkin adalah yang terbayang adanya di samping
terbayang tidak adanya. Wajib itu terbagi dua lagi, yaitu wajib bi-dzhatihi
(wajib dengan zatnya), wajib bi-ghairihi (wajib dengan yang
lainnya)
Yang
dimaksud wajib dengan zatnya ialah sesuatu yang tidak bergantung kepada adanya
sebab yang lain. dan itu pula wajib bi-dzhatihi ini hanya khusus
mengenal Tuhan saja.
Yang
dimaksud wajib dengan yang lainnya ialah sesuatu yang adanya berasal dari
sesuatu benda lain dari zatnya sendiri. hal ini meliputi semua makhluk.
Misalnya bilangan empat adalah wajib bi-ghairihi, sebab ia
merupakan hasil dari bilangan 2+2, 3+1, atau 2x2. Juga kebakaran, tidak
mungkin adanya kebakaran itu tanpa api dan benda yang terbakar bersama-sama.
Wajib bi-gharihi juga disebut mumkin
bi-dhatihi (mungkin dengan zatnya) seperti diatas. Yang dimaksud dengan mungkin
bi-ghairihi adalah segala yang terbayang karena sebab yang lainnya juga.
Misalnya kelahiran seorang anak itu mungkin dengan sebab perkawinan
suami-istri. atau tumbuhnya suatu pohon mangga yang besar adalah mungkin bagi
sebutir biji mangga yang dilemparkan ditanah. Jadi kesimpulannya mujudaat ini
ada tiga macam: wajib bi-dhatihi, yaitu Allah saja, wajib
bi-ghairihi dan mungkin bi-ghairihi, keduanya adalah alam
makhluk.[5]
Secara
ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada
daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia.
Jadi
ontologi sains merupakan ilmu yang mempelajari tentang hakikat dan struktur
sains dan hakikat sains menjawab pertanyaan apa sains itu sebenarnya dan
struktur sains menjelaskan tentang cabang-cabang sains.
2.
Pengertian
Ilmu Sains
Salah satu corak pengetahuan ialah pengetahuan
yang ilmiah, yang lazim disebut ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang ekwivalen
artinya dengan Science dalam bahasa Inggris. Sebagaimana juga science
berasal dari kata scio, scire (bahasa Latin) yang berarti tahu, begitu
pun ilmu berasal dari kata ‘alima (bahasa Arab) yang juga berarti tahu.
jadi baik ilmu maupun Science secara etimologis berarti
pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu dan Science itu semacam
pengetahuan yang mempunyai cirri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat yang khas.[6]
The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu
adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari suatu metode untuk
memperoleh pemahaman secara rasional, empiris mengenai dunia ini dalam berbegai
seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai
gejala yang ingin dimengerti manusia.[7]
3.
Struktur
Ilmu Sains
Landasan ontologis ilmu pengetahuan sangat
tergantung pada cara pandang ilmuwan terhadap realitas. manakala realitas yang
dimaksud adalah materi, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu empiris dan cendrung
pada ilmu-ilmu kealaman. Manakala realitas yang dimaksud spirit atau roh, lebih
terarah pada ilmu-ilmu humaniora.[8]
Stuat
Chase dalam bukunya The Proper Study of Mankind membagi ilmu pengetahuan
atas tiga kelompok besar, yaitu:
a. Ilmu
Pengetahuan Alam (Natural Sciences):
1) Biologi
2) Antropologi
3) Ilmu
Kedokteran
4) Ilmu
Farmasi
5) Ilmu
Pertanian
6) Ilmu Pasti
7) Ilmu Alam
8) Ilmu Teknik
9) Geologi
10) Dan lain sebagainya.
b. Ilmu
Kemasyarakatan (Social Science):
1) Ilmu Hukum
2) Ilmu
Ekonomi
3) Ilmu Jiwa
Sosial
4) Ilmu Bumi
Sosial
5) Sosiologi
6) Antropologi
Budaya dan Sosial
7) Ilmu
Sejarah
8) Ilmu
Politik
9) Ilmu
Pendidikan
10) Publisitik
dan Jurnalistik
11) Dan lain
sebagainya.
c. Humaniora (Studi
Humanitas, Humanities Studies)
1) Ilmu Agama
2) Ilmu
Filsafat
3) Ilmu Bahasa
4) Ilmu Seni
5) Ilmu Jiwa
6) Dan lain
sebagainya.[9]
Pada pembagian ilmu pengetahuan,
hakikatnya adalah dua pembagian yaitu ilmu alam dan ilmu humniora, tetapi
didalam Ilmu alam terdapat manusia yang berhubungan dengan kemasyarakat yang
terkenal dengan makhluk sosial, maka pembagian ilmu pengetahuan atas tiga
golongan dan pemasukan salah satu ilmu tertentu kedalam salah satu penggolongan
hendaknya jangan dianggap tegas demikian (seperti: hitam dan putih).
4.
Hakikat Ilmu
Sains
Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu
yang merupakan cirri khas manusia karena manusia adalah satu-satunya makhluk
yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Dalam ilmu Sains pada
hakikatnya adalah sesuatu pengetahuan yang bisa diterima akal atau dengan kata
lain rasional dan dapat dibuktikan secara empiris.
a) Rasionalisme
Inti dari pandangan rasionalisme
adalah bahwa hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita
bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang tidak
mungkin salah. Menurut kaum rasionalis, sumber pengetahuan, bahkan sumber
satu-satunya, adalah akal budi manusia. Akal budilah yang memberi kita
pengetahuan yang pasti benar tentang sesuatu.[10]
Tokoh rasionalisme adalah Des
Cartes (1596-1660 M), Spinoza (1632-1677 M) dan Leibniz (1646-1716 M).
b) Empirisme
Aliran empirisme berpendapat
bahwa pengetahuan bersumber dari pengalaman, sehingga pengenalan indrawi
merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Francus Bacon (1210-1292 M) berpendapat
pengetahuan yang sebenarnya adalah penetahuan yang diterima orang melalui persentuhan
indrawi dengan dunia fakta.[11]
Pengetahuan sains adalah pengetahuan yang
rasional dan didukung bukti empiris. mengenai contoh itu (jeruk berbuah jeruk)
adalah rasional jeruk berbuah jeruk karena bibit jeruk berisi gen jeruk, tentu
akan tumbuh menjadi jeruk dan akan berbuah jeruk, bukti empirisnya ialah
buahnya ternyata memang jeruk. Dari formula itu daoat diketahui bahwa objek
penelitian pengetahuan sains (pengetahuan ilmu) ialah objek yang empiris.[12]
5.
Prinsip
Dasar Ilmu Sains
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan
pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
a)
Monoisme
Paham
ini mengganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan hanyalah satu
saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal,
baik yamg asal berupa materi atau pun berupa ruhani.
Paham ini kemudian terbagi kadalam dua aliran:
1)
Materialisme
Aliran
ini menggangap bahwa sumber yang asal itu adalah materi bukan ruhani.
2)
Idealisme
Aliran
ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal
dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, sesuatu yang tidak berbentuk dan
menenpati ruang.
b)
Dualisme
Aliran
ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua maca hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan
spirit.
c)
Pluralisme
Paham
ini berpendapat segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak
dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
d)
Nihilisme
Sebuah doktrin yang tidak mengakui faliditas alternatif
yang positif.
e)
Agnostisisme
Paham
ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. baik
hakikat materi maupun hakikat ruhani.[13]
B.
Epistemologi
Sains
1.
Pengertian
Epistemologi Ilmu Sains
Epistemologi
berasal dari kata Yunani, episteme
dan logos. Episteme bisa diartikan pengetahuan atau
kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, teori.[14] Epistemologi secara
etimologi dapat diartikan teori yang benar dan lazimnya hanya disebut teori
pemgetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge.
Istilah-istilah
lain yang setara maksudnya dengan epistemologi dalam pelbagai kepustakaan
filsafat kadang-kadang disebut juga logika material, cariteology,
kritika pengetahuan, gonosiology dan dalam bahasa Indonesia lazim dipergunakan
istilah “filsafat pengetahuan”.[15]
J.A.
Niels Mulder menuturkan epistemologi adalah cabang yang mempelajari
tentang soal watak, batas-batas dan berlakunya ilmu pemgetahuan. Jacques Veuger
mengemukakan, epistemologi ialah pengetahuan pengetahuan dan pengetahuan yang
kita miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya pengetahuan orang lain
tentang pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan
orang lain.
Jadi
epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan,
sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas sifat, metode dan
keshahihan pengetahuan.[16]
2.
Objek Ilmu
Sains
Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh
objeknya. ada dua macam objek ilmu pengetahuan, yaitu:
a)
Objek
materi
Objek
material adalah seluruh lapangan atau bahan yang dijadiakan objek penyelidikan
suatu ilmu.
b)
Objek forma
Objek
Forma adalah objek material yang disoroti oleh suatau ilmu, sehingga membedakan
ilmu yang satu dari ilmu lainnya, jika berobjek material sama.
Pada garis besarnya objek ilmu pengetahuan
adalah alam dan manusia. Oleh karena itu ada ahli yang membagi ilmu pengetahuan
atas dua bagian besar, yaitu: ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan
manusia.[17]
3.
Sumber Ilmu
Sains
Sebagai
alat untuk mengetahui pengetahuan maka John Hospers dalam bukunya “An
Introduction to Philosophical Analysis” mengemukakan ada enam hal, yaitu
sebagai berikut :
a)
Pengalaman
Indera
Pengalaman
indera merupakan sumber pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek
dari luar manusia melalui kekuatan indera. Kekhilafan akan terjadi apabila ada
ketidaknormalan diantara alat-alat itu.
b)
Nalar
Nalar
adalah cara berpikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan
maksud mendapatkan pengetahuan baru. ada dua asas yang pertama Principium Contradictionis
( dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin keduanya benar), kedua Principium
Tertii Exclusi ( dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar
dan tidk mungkin keduanya salah ).
c)
Otoritas
Otoritas
menjadi sumber pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui
seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya sehingga orang lain
mempunyai pengetahuan.
d)
Intuisi
Intuisi
adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang berupa proses kejiwaan dengan
tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan yang berupa
pengetahuan. dengan demikian sesungguhnya peran intuisi sebagai sumber
pengetahuan karena merupakan suatu kemampuan yang ada dalam diri manusia yang mampu
melahirkan pernyataan-pernyataan yang berupa pengetahuan.
e)
Wahyu
Wahyu
adalah berita yang disampaikan oleh Tuhankepada nabinya untuk kepentingan
umatnya. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah satu sumber pengatahuan karena
kita mengenal sesuatu dengan melalui kepercayaan kita.
f)
Keyakinan
Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada dalam
diri manusia yang diperoleh melalui kepecayaan. segungguhnya antara sumber
pengetahuan yang berupa wahyu dan keyakinan ini sangat sukar untuk dibedakan
secara jelas karena keduanya menepatkan bahwa alat lain yang dipergunakannya
melalui kepercayaan. Perbedaannya wahyu secara dogmatis diikutinya yang berupa
aturan-aturan agama adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia yang
merupakan pematangan ( maturation ) dari kepercayaan. karena kepercayaan itu
bersifat dinamis mampu menyesuaikan keadaan yang sedang terjadi. adapun
keyakinan itu sangat statis, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan cocok
untuk kepercayaannya.[18]
4.
Metode Ilmu
Sains
Yang menjadi tujuan ilmu pengetahuan tidaklah
lain ialah (tercapainya) kebenaran. untuk mencapai tujuan, yaitu kebenaran maka
ditempuhlah cara dan jalan tertentu yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan
atau metode ilmiah.
a)
Metode
Abduksi
Metode
abduksi adalah semua proses yang terdiri dari mencari dan merumuskan hipotesis
terjadi dalam pemikiran ilmuan.
Fungsi
abduksi yaitu menawarkan suaty hipotesis yang bisa memberikan penjelasan
terhadap fakta-fakta itu. Oleh karena itu silogisme abduksi selalu mulai dari
fakta, dan dari fakta itu dirumuskan sebuah hipotesis untuk menjelaskan fakta
tersebut.[19]
b)
Metode
Deduksi
Metode
deduksi adalah pengujian atas hipotesis dapat dimulai dengan memeriksa
implikasi eksperiensial (virtual prediction) dari hipotesis. Setelah
seorang ilmuan memilih hipotesis, langkah berikut menyimpulkan
prediksi-prediksi eksperensial dari hipotesia itu, mencatat dan menyeleksi
prediksi serta pada akhirnya mengamati apakah prediksi itu terjadi atau tidak.[20]
c)
Metode
Induksi
Metode induksi
adalah cara kerja ilmu pengetahuan yang bertolak dari sejumlah proposisi
tunggal/particular tertentu untuk menarik kesimpulan tertentu. Dengan kata lain
atas dasar sejumlah fenomena, fakta/data tertentu yang dirumuskan dalam
proposisi-proposisi tunggal tertentu, ditarik kesimpulan yang dianggap sebagai
benar dan berlaku umum.[21]
C.
Langkah-langkah
Metode Ilmiah
Dari
ketiga metode ilmiah, yaitu abduksi, deduksi dan induksi yang paling relevan
adalah metode induksi, maka penulis hanya membahas tentang langkah-langkah yang
dipakai dalam metode induksi.
Ada dua
model metode induksi. Yang pertama dapat kita sebut metode induksi murni. Yang
kedua metode induksi yang telah di modifikasi.
a.
Langkah-langkah
metode induksi murni
1)
Identifikasai
masalah
2)
Pengamatan
dan pengumpulan data
3)
Merumuskan
hipotesis
4)
Tahap
pengujian hipotesis
a.
Langkah-langkah
metode induksi yang teleh di modifikasi
1)
Identifikasi
masalah
2)
Pengajuan
hipotesis
3)
Penelitian
lapangan
4)
Pengajuan
hipotesis setelah melihat lapangan[22]
D.
Aksiologi
Ilmu Sains
1.
Pengertian
Aksiologi Ilmu Sains
Aksiologi berasal dari kata axios
(Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi
adalah teori tentang nilai.
Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalam
bukunya Jujun S. Surya Sumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh.[23]
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi
tersebut terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai
nilai. nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
2.
Fungsi
Ilmu Sains
“Scentific Standards of truth are not only
possible standards of course” , tulis Prof. Herbert J. Muller dalam bukunya The
Use of The Past, “But They Are Necessary standard of claims to liberal,
factual, historical truth” (standar ilmiah suatu kebenaran tentunya
bukanlah satu-satunya standar, namun standar ini penting untuk mencapai
kebenaran yang sesuai dengan pembacaan, kenyataan dan sejarah).
Drs. R.B.S Fudyartanta, Dosen Psikologi di
Universitas Gajah Mada, menyebutkan ada empat macam fungsi ilmu pengetahuan,
yaitu:
a)
Fungsi
Deskriptif
Menggambarkan,
melukiskan dan memaparkan suatu objek atau masalah sehingga mudah dipelajari
oleh peneliti
b)
Fungsi
Pengembangan
Melanjutkan
hasil penemuan yang lalu dan menemukan hasil ilmu pengetahuan ilmu yang baru
c)
Fungsi
Prediksi
Meramalkan
kejadian-kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat
mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha mengahadapinya.
d)
Fungsi
Kontrol
Berusaha mengaendalikan peristiwa-peristiwa
yang tidak dikehendaki.[24]
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa fungsi ilmu pengetahuan ialah untuk kebutuhan hidup manusia
didalam berbagai bidangnya dan menjawab segala problematika kehidupan manusia.
3.
Nilai
Ilmu Sains
Nilai adalah sesuatu yang dimiliki manusia
untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Kemudian
bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengatahuan.[25]
Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan
topick penelitiannya, bebas dalam melakuakn eksperimen-eksperimen. kebebasan
inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Nilai objektif
hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidakmau terikat dengan nilai-nilai
subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat dan
sebagainya. bagi seorang ilmuan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah
adalah yang sangat penting.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika
keilmuan adalah nilai dan norma moral. nilai moral tidak berdiri sendiri,
tetapi ia berada pada atau menjadi milik seseorang ia akan bergabung dengan
nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya dan sebagainya. Yang paling
utama dalam moral adalah yang terkait
dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang
berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuan nilai dan
norna-norma yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia menjadi ilmuan yang
baik atau yang belum.[26]
E.
Implikasi
ilmu Sains dalam pembelajaran PAI
Dalam
pelaksanaannya integrasi Pendidikan Agama Islam dengan sains dan teknologi
menemui beberapa permasalahan antara lain;
1.
Kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) Umat Islam
Berbicara
tentang sumber daya manusia, umat Islam seharusnya dapat memberikan konstribusi
yang besar linier sebanding dengan jumlahnya. Akan tetapi, dengan kuantitas
yang besar, ternyata belum sebanding dengan kualitasnya. Masih banyak di antara
umat Islam yang “Gaptek alias Gagap Teknologi”. Demikian halnya di kalangan
dunia pendidikan kita, terutama di tingkat sekolah menengah ke bawah masih
banyak guru yang hanya kaya dalam hal
pengetahuan agama, tetapi miskin
dalam pengetahuan umum. Selain itu masih banyak juga siswa dan guru yang belum menguasai teknologi
terutama dalam penggunaan komputer dan internet.
2.
Keterbatasan
sarana dan prasarana serta sumber bacaan materi keagamaan terutama yang
berkaitan dengan sains, mengakibatkan pengelolaan cenderung seadanya.
Pendidikan
agama yang diklaim sebagai aspek yang penting, seringkali kurang diberi
prioritas dalam urusan fasilitas. Tidak semua sekolah atau madrasah mempunyai
dana yang cukup untuk pengadaan sarana dan prasarana yang memadai.
Banyak
materi pendidikan agama yang membutuhkan pengkajian dan pembuktian secara
ilmiah, namun karena tidak tersedianya tenaga ahli dan peralatan yang memadai
sampai sejauh ini materi-materi itu hanya disampaikan secara dogmatis. Sebagai
contoh tentang diharamkannya daging anjing dan babi, perbedaan status najis
untuk air kencing bayi laki-laki yang dihukumi najis mukhaffafah, sedangkan air
kencing bayi perempuan dihukumi najis
mutawasitah, juga terhadap air liur anjing yang dikatagorikan najis
mughalladzah yang cara pensuciannya harus dibasuh sampai tujuh kali dan salah
satunya harus diserta pasir atau debu,
tentunya ada rahasia atau hikmah
yang dapat diungkap di balik semua itu. Selain itu buku sumber rujukan
yang digunakan oleh guru dan siswa masih membahas hal-hal yang berkaitan dengan
materi agama semata belum banyak yang menghubungkan kebenaran ajaran agama
dengan kebenaran sains.
3.
Sistem dan
metode pendidikan yang diterapkan dalam proses kependidikan Islam masih belum
seluruhnya mengintegrasikan sains dan teknologi.
Bila
dianalisis lebih jeli, selama ini khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan
masih terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi. Ada pemisahan
antara keduanya sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam
belum mau ikut andil dan berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak
ada hubungannya dengan agama. Sebagai permisalan, tentang sains sering kali
umat Islam fobia dan merasa sains bukan urusan agama. Jadi ada pemisahan antara
urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya
berorientasi dunia saja.
Pada
sistem pendidikan kita yang telah berjalan
terdapat dikotomi antara sains dan
ilmu agama yang telah melahirkan dua jenis manusia yang ekstrim ; sistem
pendidikan agama yang melahirkan manusia yang hanya berfikir kepada fikih,
halal haram dan kurang memperdulikan kemajuan pembangunan material, sementara
sistem lainnya hanya melahirkan manusia yang pandai membuat kemajuan dan
pembangunan material tetapi makin jauh dari Allah. Nilai urgensi pengembangan studi sains dan
agama khususnya Islam di banyak Perguruan Tinggi sampai sekarang masih terasa
parsial dan terpotong-potong. Agama dan Islam sebagai paradigma keilmuan masih
ditempatkan sebagai “pelengkap” bahasan-bahasan sains yang artifisial.
Keberadaannya hanya tak lebih dari sekedar penjustifikasi konsep-konsep sains
dan belum menjadi sebuah paradigma
keilmuan yang holistic yang di dalamnya
mensyaratkan elaborasi-elaborasi saintifik sesuai konsep ilmu yang ada.[27]
4.
Sejauh ini
Pendidikan Agama Islam yang diberikan kepada peserta didik dianggap belum mampu
mengantisipasi dampak-dampak negatif dari perkembangan sains dan teknologi
seperti terjadinya krisis moral dan krisis social yang kini makin menggejala
dalam kehidupan masyarakat. Kemajuan dalam bidang sains dan teknologi telah
menimbulkan perubahan yang sangat cepat dalam kehidupan manusia. Hampir tidak
ada segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada
kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan umat
manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral dan kemanusiaan.
Seharusnya Pendidikan Agama Islam mampu
berperan sebagai perisai dan filter bagi
peserta didik dalam menangkal
dampak-dampak negatif perkembangan sains dan teknologi pada masa
sekarang ini.
Namun
kenyataannya pendidikan Agama masih jauh dari yang diharapkan. Menurut
Rasdianah seperti dikutip oleh Muhaimin
ada beberapa kelemahan dari Pendidikan Agama Islam di sekolah, baik dalam
pemahaman materi pendidikan agama Islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu (1)
dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada fatalistic; (2) bidang
akhlak yang berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagai
keseluruhan pribadi manusia beragama; (3) bidang ibadah diajarkan sebagai
kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan pribadi;
(4) dalam bidang hukum ( fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang
tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hokum
Islam; (5) agama Islam cenderung diajarkan sebagai norma dan kurang
mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan; (6)
orientasi mempelajari al-Qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks,
belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.[28]
5.
Belum
seluruhnya Guru Agama Islam memiliki kompetensi menjadi guru
agama sebagai hasil (produk) lembaga pendidikan profesional keguruan.
Guru
sebagai komponen utama dalam pendidikan dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan
melampaui perkembangan sains dan teknologi, menghasilkan peserta didik yang
berkualitas, baik secara akademis, skill (keahlian), kematangan emosional,
moral serta spiritual. Oleh karena itu, diperlukan seorang guru yang mempunyai
kualifikasi, kompetensi personal-religius dan kompetensi professional religious
serta dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas profesionalnya . Keberadaan
guru, apalagi guru Pendidikan Agama Islam tidak bisa digantikan oleh
sumber-sumber belajar yang lain. Hal ini karena guru Pendidikan Agama Islam
tidak semata-mata berperan dalam kegiatan transfer of knowledge saja, tetapi
juga berperan dalam kegiatan transfer of value. Namun kenyataannya, masih
banyak guru Pendidikan Agama Islam yang belum bisa menulis ayat-ayat Al-Qur’an
dengan baik dan benar, belum bisa membaca
Al-Qur’an yang benar dan baik sesuai dengan ilmu tajwid, tidak mampu
menjawab masalah fiqih sederhana yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,
kurang menguasai sejarah Islam dan seterusnya apalagi penguasaan materi lintas
ilmu sains.
F.
Upaya-upaya
untuk mengatasi permasalahan dalam mengintegrasikan Pendidikan
Agama Islam dengan sains dan teknologi.
Untuk menjawab beberapa permasalahan
di atas sebagai upaya untuk merealisasikan integrasi pendidikan Agama Islam
dengan Sains dan teknologi sebagaimana yang diharapkan, maka upayanya adalah
sebagai berikut :
1.
Kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah.
2.
Salah satu
komponen pendidikan adalah sarana dan prasarana yang memadai.
3.
Sistem dan metodologi pendidikan yang tepat
guna dalam proses kependidikan Islam yang kontekstual dengan sains dan
teknologi.
4.
Guru agama
sebagai hasil (produk) lembaga pendidikan profesional keguruan harus memiliki
kompetensi yang mencerminkan guru yang professional pula[29]
SIMPULAN
1.
Dalam pendekatan ontologi, ilmu Sains terdiri dari
dua unsur :
a)
Masalah Rasional
Dalam sains , pernyataan
atau hipotesis yang dibuat haruslah berdasarkan rasio
b)
Masalah Empiris
Hipotesis yang dibuat tadi
diuji ( kebenaranya ) mengikuti prosedur metode ilmiah. Untuk menguji hipotesis ini digunakan metode eksperimen
2.
Dalam epistemologi,
masalah yang terpenting adalah sumber ilmu sains yang terdiri dari enam sumber,
antaralain:
a)
Pengalaman
Indra
b)
Nalar
c)
Otoritas
d)
Intuisi
e)
Wahyu
f)
Keyakinan
3.
Dalam
aksiologi ilmu sains, berbicara tentang nilai objektif yaitu seorang ilmuan bebas dalam menentukan
topic penelitiannya dan bebas dalam melakukan eksperimen-eksperimen. Sedangkan nilai dan norma moral harus berada bpada etika
keilmuan, sehingga bagi seorang ilmuan nilai dan norna-norma yang dimilikinya
akan menjadi penentu apakah ia menjadi ilmuan yang baik atau yang belum.
4.
Ada
beberapa macam metode ilmiah, antara lain metode abduksi, deduksi dan induksi.
tetapi yang relevan dalam ilmu pengetahuan adalah metode induksi.
5.
Langkah-langkah
dalam metode induksi
a.
Langkah-langkah
metode induksi murni
1)
Identifikasai
masalah
2)
Pengamatan
dan pengumpulan data
3)
Merumuskan
hipotesis
4)
Tahap
pengujian hipotesis
b.
Langkah-langkah
metode induksi yang teleh di modifikasi
1)
Identifikasi
masalah
2)
Pengajuan
hipotesis
3)
Penelitian
lapangan
4)
Pengajuan
hipotesis setelah melihat lapangan
6.
Upaya
dalam mengintegrasikan pendidikan agama Islam dan ilmu sains mengalamai kendala
antara lain
a.
Kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah.
b.
Salah satu
komponen pendidikan adalah sarana dan prasarana yang memadai.
c.
Sistem dan metodologi pendidikan yang tepat
guna dalam proses kependidikan Islam yang kontekstual dengan sains dan
teknologi.
d.
Guru agama
sebagai hasil (produk) lembaga pendidikan profesional keguruan harus memiliki
kompetensi yang mencerminkan guru yang professional pula
DAFTAR
PUSTAKA
Surajiyo. 2010. Ilmu Filsafat Suatu
Pengantar . Cet. V. Jakarta: Bumi Aksara.
Bakhtiar Amsal. 2011. Filsafat Ilmu. Cet. X. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Al-Jauharie Imam Khanafie. 2010. Filsafat
Islam (Pendekatan Tematik). Pekaalongan: STAIN Pekalongan Press.
Hamami M. Abbas. 1976. Filsafat (Suatu
Pengantar Logika Formal Filsafat Pengetahuan). Yokyakarta: Yayasan Pembinaan
Fakultas Filsafat UGM.
Syadali Ahmad, Mudzakir. 1997. Filsafat Umum.
Bandung: Pustaka Setia.
Anshari Endang Saifuddin, 1987. Ilmu,
Filsafat dan Agama. Cet. VII. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Keraf A. Sonny, Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan
(Sebuah Tinjauan Filosofis). Cet. XII. Yokyakarta: Kanisius.
Tafsir Ahmad. 2014. Filsafat Pendidikan
Islam. Cet. VI. Bandung: Remaja Rosda Karya.
http://blog.uin-malang.ac.id/ahmadbarizi/2010/06/26/panduan-riset-integrasi-sains-dan-islam/,
diakses 30 Juni pukul 10.00 WIB.
Muhaimin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam
Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Di Sekolah. Bandung: Rosdakarya.
Ancok, Djamaludin dan Fuat Nashori Suroso. 1994.
Psikologi Islami Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta
:Pustaka Pelajar.
[1]
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara,2010),
Cet. V, hlm. 158.
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. X, hlm. 133.
[3] Imam
Khanafie Al-Jauharie, Filsafat Islam (Pendekatan Tematik),(Pekaalongan:
STAIN Pekalongan Press, 2010), hlm. 3.
[4] Amsal
Bakhtiar, Op. Cit, hlm. 133.
[5] Ahmad
Syadali, Mudzakir, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia,1997), hlm.
176-177.
[6] Endang
Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1987), Cet. VII, hlm. 47.
[7]
Surajiyo, Op. Cit, hlm. 56.
[8]
Surajiyo, Op. Cit, hlm.
48.
[9] Endang
Saifuddin Anshari, Op. Cit, hlm. 55-56.
[10] A.
Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan Filosofis),
(Yokyakarta: Kanisius, 2001), Cet. XII, hlm.43-44.
[11] Ahmad
Syadali, Mudzakir, Op.Cit, hlm. 103.
[12] Ahmad
Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2014),
Cet. VI, hlm. 3-4.
[13] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 135-148.
[14]
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara,2010),
Cet. V, hlm. 24.
[15] M.
Abbas Hamami, Filsafat (Suatu Pengantar Logika Formal Filsafat Pengetahuan), (Yokyakarta: Yayasan Pembinaan Fakultas
Filsafat UGM, 1976), hlm. 1.
[16]
Surajiyo, Op. Cit, hlm. 25-26.
[17] Endang
Saifuddin Anshari, Op. Cit, hlm. 50.
[20] Ibid, hlm. 97.
[21] Ibid, hlm. 99.
[23] Ibid,
hlm. 163.
[24] Endang
Saifuddin Anshari, Op. Cit, hlm. 60-61.
[27]
http://blog.uin-malang.ac.id/ahmadbarizi/2010/06/26/panduan-riset-integrasi-sains-dan-islam/,
diakses 30 Juni pukul 10.00 WIB.
[28] Muhaimin, . Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Di Sekolah , (Bandung ; Rosdakarya., 2001),hlm. 85.
[29] Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami
Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi, (Yogyakarta :Pustaka Pelajar.
1994), hlm. 103.
No comments:
Post a Comment