SULUK SEBAGAI MODEL
PENDIDIKAN SPIRITUAL
A. Perjalanan
menuju Allah
Perjalanan
kepada Allah terdiri dari tiga tingkatan: syari’at, tarekat dan hakikat,
dinamakan juga: islam, iman dan ihsan, dinamakan juga: ahli bidayah, ahli wasti
dan ahli nihayah.[1]
Dalil terbaginya
perjalanan kepada Allah adalah:
"Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat
(dalam kehidupan)." (Q.S Al-Insiqaaq ayat 19)
Yang
dimaksud dengan tingkat demi tingkat ialah dari setetes air mani sampai
dilahirkan, kemudian melalui masa kanak-kanak, remaja dan sampai dewasa. dari
hidup menjadi mati kemudian dibangkitkan kembali.
Perjalanan
kepada Allah terdiri dari tiga tingkatan¸adalah
1.
Syari’at
atau Islam: yang berkaitan dengan anggota lahir
Yang
dimaksud syari’at, adalah: mengambilnya seseorang dari agama Allah dengan
mengarjakan perintah Allah dan menjauhi segala laraangan-Nya. Contoh:
mengerjakan shalat, puasa, haji dan lain-lain. Separti terdapat didalam surat
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal
saleh, niscaya Allah akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke
dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.
Itulah keberuntungan yang besar".(Q.S At-Tahaabun ayat 9).
Tingkatan ini (syari’at) bisa
dicapai dengan 3 perkara: taubat, taqwa
dan istiqamah.
2.
Tarekat
atau Iman: yang berkaitan dengan anggota bathin (menjaga hati)
Yang
dimaksud Tarekat, adalah mengambilnya seseorang dari agamanya Allah, dan
mengerjakan dengan lebih berhati-hati. Contoh: mengerjakan shalat dengan
mahabah, khusyu’ dan ikhlas. Seperti terdapat dalam surat .
Tingkatan
ini (tarekat) bisa dicapai dengan tiga perkara: ikhlas, shidiq dan tuma’ninah.
3.
Hakekat
atau Ihsan: yang berkaitan dengan ruh, untuk bisa lebih mengingat dan memandang
Allah.
Yang
dimaksud hakekat yaitu: mengambilnya seseorang dari agamanya Allah dengan
menghasilkan apa yang dicari (orang yang sudah bisa mengambil isi ibadah atau
suhud kepada Allah). Contoh: mengerjakan shalat dengan tidak lepas dari
mengingat Allah, atau menerjakan shalat dan shalatnya bisa menjaga dari
perbuatan jahat dan mungkar. Seperti terdapat dalam surat Al-hadid ayat 4.
"Dan Dia (Allah) bersama kamu di mama saja kamu
berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan".
Tingkatan ini (hakekat) bisa dicapai
dengan 3 perkara: Muraqabah, musyahadah
dan ma’rifat.
Pentingnya bagi seseorang yang menuju
(perjalanan) kepada Allah untuk bisa menggabungkan syari’at, tarekat dan hakikat. Karena hakekat
tanpa syari’at adalah suatu pekerjaan yang batal dan syari’at tanpa hakekat
adalah pekarjaan yang kosong(belum mempunyai makna).[2] Terdapat dalam surat
At-Taha ayat 14.
"Sesungguhnya aku
ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat aku".
Setelah kita memahami perjalanan menuju
kepada Allah, maka seseorang dalam perjalanan hidupnya menuju ke alam
berikutnya dengan caran menempuh suatu sistem dan metode yang disebut suluk
Suluk sama dengan pelaksanaan ibadah
dengan sebenar-benarnya, bersyari’at dengan bertarekat untuk berhakekat.
B.
Pengertian Suluk
Secara
etimologis, kata suluk berarti jalan atau cara, bisa juga
diartikan kelakuan atau tingkah laku, sehingka husnu al-suluk berarti kelakuan yang baik. Kata suluk adalah bentuk masdar yang diturunkan
dari bentuk verbal "salaka yasluku" yang secara harfiah mengandung
beberapa arti yaitu "Memasuki, melalui jalan, bertindak dan
memasukkan". [3]
Suluk
di dalam istilah tasawuf adalah jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah
SWT atau cara memperoleh ma'rifat. Dalam istilah selanjutnya istilah ini
digunakan untuk sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar ia dapat
mencapai suatu ikhwal (keadaan mental) atau maqam tertentu.[5]
Di
dalam kunci memahami tasawuf, suluk diartikan sebagai perjalanan spiritual menuju
Sang Sumber. Ini adalah metode perjalanan melalui berbagai keadaan dan
kedudukan. Seseorang yang menempuh jalan ini disebut salik Sang hamba yang
telah jauh berjalan menuju Allah adalah yang telah sungguh-sungguh
menunjukkan penghambaanya kepada Allah.[6]
Menurut Yusuf Qardawi
menegaskan bahwa suluk pada dasarnya
adalah perjalanan menuju Allah yakni mengenal Allah dan mencintai-Nya serta
benar-benar bertakwa kepada-Nya.
Menurut
Imam al-Gazali, suluk berarti menjernihkan akhlaq, amal pengetahuan. Suluk
dilakukan dengan cara aktif berkecimpung dengan amal lahir dan amal bathin.
Semua kesibukan hamba dicurahkan kepada Tuhannya, dengan membersihkan
bathinnya untuk persiapan wushul kepada-Nya.[7]
C.
Hakikat suluk
Adapun hakekat suluk,
ialah mengosongkan diri dari sifat-sifat madzmumah atau
buruk (dari maksiat lahir dan dari maksiat bathin) dan mengisinya dari
sifat-sifat yang terpuji atau mahmudah (dengan taat lahir dan bathin).[8]
Tahapan-tahapan yang harus ditempuh ke arah mencapai hakikat
suluk adalah:
1.
Marhalah Amal Lahir yaitu
melakukan amal ibadah yang bersifat lahir atau nyata.
2.
Marhalah Amal Bathin atau muroqobah
(mendekatkan diri kepada Allah) dengan jalan membersihkan diri dari
maksiat lahir dan batin.
3.
Marhalah Riyadlah atau melatih diri
dan mujahadah atau mendorong diri untuk selau berusaha lebih dekat dengan
Allah. Seperti dalam firman-Nya dalam surat Al-Ankabut ayat 69:
"Dan mereka yang mujahadah atau bersungguh-sungguh
mencari Allah, sungguh kami (Allah) akan menunjukkan jalan tarekat kepada kami
dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebajikan.”[9]
Maksud mujahadah ini adalah
melakukan jihad lahir untuk menambah kuatnya kekuasaan rohani atas jasmani
guna membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu
menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa-apa yang
bersifat suci, sehingga mustahiq memperoleh berbagai pengetahuan yang
hakiki tentang Allah dan kebesarannya.[10]
D. Macam-Macam Suluk
Secara umum suluk dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu: Suluk Ibadah, Suluk Riyadah dan Suluk Mujahadah.
1.
Suluk Dalam Bentuk Ibadah.
Bentuk dari suluk ini adalah dengan
melakukan aktifitas ibadah, baik ibadah wajib maupun sunah, seperti berwudlu,
shalat dan puasa, kemudian melakukan kesunahan-kesunahan lain, begitu juga
dzikir dan wirid.
Jalan yang ditempuh dalam suluk
semacam ini mengenai perbaikan syariat, yang sebenarnya merupakan kehidupan
orang Islam sehari-hari itu menjadi lebih sempurna. Meskipun demikian menurut
anggapan shufi petunjuk yang diperoleh dalam amal yang demikian itu sama, ada
yang lekas mencapainya, ada yang sampai bertahun-tahun perbuatannya dalam
beribadah itu belum berubah yang berkepentingan belum dapat menangkap hikmah-hikmah
dan kegemaran dalam ibadah lahir itu.[11]
2.
Suluk Dalam Bentuk Riyadah.
Suluk Riyadlah ini adalah pelajaran
akhlak untuk melatih diri agar jiwa ini selalu dekat dengan Allah seperti yang
diperintah dalam Islam.
Begitu juga hal-hal lainnya yang
berkaitan dengan suluk dalam bentuk riyadah semua sifat-sifat
baik (akhlaqul karimah) dijadikan perbuatan dan amalan sehari-hari, supanya
perbuatannya bisa terhindar dari sifat-sifat madzmumah.
3.
Suluk Mujahadah
Suluk yang ketiga ini adalah untuk
latihan hidup menderita. Salah satu usaha shufi untuk menormalisir kepribadian
ini ialah berkelana dalam daerah-daerah yang belum dikenalnya,
adapun bentuk amalan suluk mujahadah yang dimaksud adalah seperti:
a.
Membantu orang yang membutuhkan di daerah-daerah
yang di datangi.
b.
Melakukan perjalan ke tempat yang
sama sekali yang belum pernah di datanginya seperti naik turun ke gunung dan jurang,
masuk hutan.
Sedang tujuannya adalah untuk:
1) Merubah akhlaq yang kikir menjadi orang yang
dermawan.
2) Menambah akhlaq menjadi penyayang terhadap sesama.
3) Merubah akhlaq menjadi peka terhadap keadaan .
E.
Bentuk-Bentuk Suluk
Bersuluk adalah melakukan berbagi
laku yang tujuannya untuk mendekakan diri kepada Allah seperti berikut ini:
1.‘Uzlah
Imam al-Gazali menegaskan bahwa
uzlah adalah jalan memusatkan diri untuk beribadah, bertafakur, dan
menjalankan hati dengan bermunajat kepada Allah SWT sekaligus untuk
menghindarkan diri dari pergaulan dengan makhluk. Kecuali itu untuk menggunakan
waktu dengan menyingkapkan segala rahasia ciptaan Tuhan baik dengan urusan
duniawi maupun ukhrawi, alam langit dan bumi serta alam malakut yang tidak
terjangkau oleh panca indra. Hal demikian tidak akan tercapai tanpa
mengasingkan diri atau uzlah dari kesibukan dan pergaulan sehari-hari dengan
orang lain.[12]
Manfaat uzlah
menurut Imam Al-Gazali meliputi dua hal, yakni manfaat
keagamaan dan manfaat keduniawian. Diantara manfaat keagamaan adalah
dimungkinkannya seseorang lebih dapat melakukan ketaatan-ketaatan agama secara
lebih serius dan intensif seperi rajin beribadah, bertafakur, dan
juga menghindari larangan-larangan agama seperti munculnya sifat riya’, gibah,
dengki serta terseret pada pergaulan-pergaulan buruk lainnya.
Adapun manfaat-manfaat yang bersifat keduniawian, seperti
lebih berkonsentarsi dalam berkerja, terhidar dari pertikaian, peperangan,
konflik yang berkepanjangan dan lain sebagainnya.[13]
Menurut pensyarah Al-Hikam, Syekh
Zaruq, membagi ‘uzlah dalam tiga kategori:
Pertama, manusia
yang ‘uzlah kalbunya, sementara fisiknya tidak. Inilah yang merupakan eksistensi
yang nyata dan perjalanan yang cemerlang. Situasi dan kondisi mistikalnya
adalah kondisi manusia-manusia muttaqin dan telah mencapai
keparipurnaan.
Kedua, manusia
yang menyendiri dalam fisiknya tetapi kalbunya tidak. Kondisi ini lumanyan baik,
namun harus memenuhi beberapa syarat, untuk menyongsong arus
Rahmat Allah dalam kondisinya.
Dan ketiga, ‘uzlah lahir dan batin. Yaitu mereka
yang disebut dengan al-Mutakhalli atau Takhalli.
Kondisi ketiga ini nantinya akan memasuki tahalli (berias dengan akhlak mulia),
dilanjutkan dengan tajalli (menjadi manifestasi cahaya
Ilahi).
Kategori manusia yang ‘uzlah lahir
dan batin itu, terbagi pula menjadi tiga:
a.
Orang yang ‘uzlah agar dirinya bisa
selamat,
b.
Orang yang ‘uzlah karena ingin
meraih sesuatu, dan
Uzlah dipandang dari sifatnya dibagi
dua macam yaitu:
a.
Uzlah bathin adalah kondisi bathin
yang selalu berusaha, riyadlah, pergi, meninggalkan kesenangan duniawi selalu
mendekatkan diri kepada Allah walaupun masih tinggal dan hidup bersama
masyarakat.
b.
Uzlah dzahir ialah uzlah yang membawa
seganap jiwa dan raga bukan yang bersifat simbolik, melainkan
bersifat dzahir, (riyadlah bersifat fisik) semisal pergi kegunung-gunung,
hutan, berjalan menjadi musafir untuk bertafakur, beribadah kepada Allah supaya
mendapatkan rindla -Nya.
2. Khalwat
Menurut tasawuf khalwat dilihat
secara dzohir dan batin. Khalwat zahir ialah apabila seseorang mengambil
keputusan untuk memisahkan dirinya daripada dunia, memencilkan dirinya di dalam
satu ruangan yang terpisah daripada orang ramai supaya manusia dan makhluk di
dalam dunia selamat daripada kelakuan dan kewujudannya yang tidak
diingini. Dia juga berharap pengasingan itu akan mendidik egonya.
Jadi khalwat adalah salah satu cara
bagaimana salik bisa lebih dekat dengan Khaliqnya melalui penyendirian. Hati
yang berkhalwat bisa saja dalam keadaan bersama masyrakat karena khalwat bisa
secara bathin yaitu keadaan hati yang selalu menyendiri dari
pengaruh duniawi dan disibukkan bersama Ilahi.
3. Zuhud
Zuhud adalah karakteristik dasar yang
membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Jika tidak memiliki
keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak dapat dibedakan
lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia. Rasulullah pernah
bersaba tentang zuhud sebagai berikut:[16]
“Zuhudlah terhadap dunia niscaya kamu di cinta Allah,
zuhudlah terhadap apa yang dimiliki ma nusia niscaya kamu akan di cintai oleh
mereka.”
Dalam pandangan kaum shufi bahwa
dunia dan segala kehidupan materi dan isinya adalah merupakan sumber
kemaksiatan, kemungkaran yang dapat menjauhkannya dari Tuhan, menyebabkan
kejahatan dan dosa. Karena hasrat, keinginan dan nafsu seseorang sangat
berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai ghayah (tujuan
akhir) dalam hidupnya, sehingga memalingkannya dari Tuhan. Oleh karena itu,
maka seorang shufi dituntut untuk terlebih dahulu meninggalkan atau memalingkan
seluruh aktifitas jasmani dan ruhani dari ha-hal yang bersifat duniawi.
Dengan demikian segala apa yang
dilakukan dalam kehidupan tidak lain hanyalah dalam rangka mendekatkan diri
kepada Tuhan,[17] sehingga
dunia tidak berpengaruh dalam kehidupan, tidak menjadikan susah maupun senang,
karena kesusahan menerutnya adalah ketika jiwa kita jauh dengan Tuhan dan
kesenangan sejati adalah ketika dekat dengan-Nya. Karena susah dan senang dalam
dunia bersifat sementara, sesuai dengan firman Allah dalam QS An-Nisa’,
4: 77:
“…Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu
lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.”[18]
Akan tetapi zuhud tidak berarti sama
sekali meniggalkan kehidupan dunia dan semata-mata mengurus kehidupan akhirat
saja,[19] zuhud
adalah bagai mana cara seseorang memandang dunia.
Jadi, tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara
kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan karena
adanya dominasi kedekatan kepada Allah SWT.
4. Tawakal
Tawakal adalah kesungguhan hati
dalam bersandar kepada Allah SWT untuk mendapatkan kemaslahatan serta
mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.89 Allah SWT
berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 2-3.
“…Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan
jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi
dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakal
kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya
…”[20]
Imam al-Gazali mengatakan bahwa
maqam tawakal terdiri dari tiga unsur Ilmu, hal dan amalan, maksudnya adalah:
hal merupakan tawakal dalam dirinya sedangkan Ilmu adalah dasar dari
tawakal, amal merupkan buwahnya.[21]
5. Sabar
Sabar juga bermakana ketabahan dalam
menerima sesuatu kepahitan dan kesulitan,[22] atau
dalam keadaan berbahagia atau berduka baik secara jasmani maupun ruhani.
Allah SWT berfirman dalam Surat an-Nahl: 127:
Kesabaran tidak terikat oleh tempat
dan waku, kesabaran dalam berbagai keadaan bagi seorang salik adalah sebuah
keharusan sehingga mampu memahami diri yang bisa mendekatkan kepada
Allah.
F.
Berguru dalam bersuluk
Kepentingan berguru hal ini agar
memilki ilmdengan tidak menduga-duga dan ada kontrol jika terjadi kekeliruansaat
orang-orang tak berdaya untuk memberikan peringatan atau usaha pelurusan. Dalam
tataran sebagai proses dalam bersuluk, minimal guru sebagai berfungsi sebagai
sarana atau wasilah untuk mencapai maqam atau kedudukan disisi Allah sebagai
mursyid.
G.
Kesimpulan
Dalam makalah
ini pemahaman arti suluk dalam arti umum, yaitu perjalanan menuju Allah dengan
mengikuti al-Quran da as-Sunah serta membersihkan hati, dengan melakukan
perbuatan-perbuatan yang terpuji dan membersihkan diri dari peruatan yang tercela. Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa
bertasawuf dan bersuluk adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan ibarat
satu koin mata uang, satu sisi menguatkan sisi yang lain, orang yang mengaku
bertasawuf sudah pasti bersuluk, karena makna dari tasawuf adalah
bersuluk secara hakiki.
Orang yang bersuluk tidak bisa
dibatasi bagaimana amal, usaha atau lakunya, garis besarnya ialah tergantung
pada niatan awal yaitu selalu ingin dekat dan ingin mendapat rindla dari Allah.
Jadi seperti teori–teori yang digambarkan diatas mulai dari uzlah, khalwat,
zuhud, tawakal, sabar adalah sebagian kecil dari bertasawuf, dan salah
satu laku seorang salik, yang menginginkan kebersamaan bersama Allah SWT.
Allah Maha Agung, Maha Luas
Karunianya, segala sumber makluk yang tampak maupun yang tidak tampak,
dzohir maupun batin di segala penjuru terdapat wajah-Nya. Maka untuk
mendekati-Nya pun tergantung seorang shufi, akan tetapi teori-tori
yang dituturkan di atas dibatasi agar pembahasannya tidak terlau melebar dan
hanya berkutat pada masalah uzlah, khalwat, zuhud, tawakal dan sabar
karena menyesuaikan dengan tema yang di angkat.
Maka bagi seseorang yang ingin menempuh
jalan kepada llahi bertasawuf dan bersuluk berjalanlah
dengan kebeningan hati, hati yang bening menerima cahanya
jalan yang bersal dari Allah, Allah memuliakan
orang yang memuliakan dengan jalan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Husain Nawawi Ahmad, Faidurrahman,
jilid I, kamalul Mutaba’ah: Cirebon,2011
Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam, Cet.1, jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993
Amatullah Armstrong,
Kunci Memasuki Dunia Tasawwuf: Khasanah
Istilah Sufi, Mizan, Bandung
Imam Al-Gazali, Taman Jiwa Kaum
Sufi, Terj. Abu Hamid, Risalah Gusti, Surabaya, 1994 Mustafa Zahri, Kunci
Memahami Ilmu Tasawwuf, Surabaya, PT Bina Ilmu,
1979
Masharuddin,
Pembrontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyyah
Atas Rancang Bangun Tasawuf , JP Books, Surabaya, 2007
Lih. Al-Khafidz Abi ‘Abdullah
Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Darul Fikr, jilid 2, t. th
Abubakar Aljeh, Pengantar Ilmu
Tarekat , Ramadhani, Solo, 1992
Hasyim Muhammad,
Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
Foot note
[2] Ibid, hlm.14-18.
[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam, Cet.1, jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, hlm.
292
[5] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,
op. cit., hlm. 292
[6] Amatullah
Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawwuf:
Khasanah Istilah Sufi, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 268
[7] Imam Al-Gazali, Taman Jiwa Kaum
Sufi, Terj. Abu Hamid, Risalah Gusti, Surabaya, 1994, hlm. 21
[8] Mustafa Zahri, Kunci Memahami
Ilmu Tasawwuf, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1979,
hlm.251
[9] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm.
787
[10] Ibid., hlm.18
[11] Abubakar Aljeh, Pengantar Ilmu
Tarekat , Ramadhani, Solo, 1992, hlm.122
[12] Masharuddin, Pembrontakan Tasawuf
Kritik Ibn Taimiyyah Atas Rancang Bangun Tasawuf
, JP Books, Surabaya, 2007, hlm. 178
[13] Masharuddin, op. cit., hlm. 180
[16] Al-khafidz Abi ‘Abdullah
Muhammad bin Yazid al-Qazwini op. cit., hlm. 1373-1374
[17] Hasyim Muhammad, Dialog Antara
Tasawuf dan Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2002, hlm. 35
[18] H. Oemar Bakry,op. cit.,
hlm. 169
[19] Djamaluddin Ahmad Al-Buny, op.
cit., hlm. 103
[20] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm.
1133
[21] Sa’id Hawa, Tazkiyatun Nafs,
Pena, Jakarta, 2006, hlm, 353
[22] Ahmad Yani, op. cit., hlm. 52
[23] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm.
537
No comments:
Post a Comment