Saturday, 26 December 2015

MAKALAH PENDIDIKAN SPIRITUAL





SULUK SEBAGAI MODEL PENDIDIKAN SPIRITUAL


A.     Perjalanan menuju Allah
Perjalanan kepada Allah terdiri dari tiga tingkatan: syari’at, tarekat dan hakikat, dinamakan juga: islam, iman dan ihsan, dinamakan juga: ahli bidayah, ahli wasti dan ahli nihayah.[1]
Dalil terbaginya perjalanan kepada Allah adalah:

"Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)." (Q.S Al-Insiqaaq ayat 19)

Yang dimaksud dengan tingkat demi tingkat ialah dari setetes air mani sampai dilahirkan, kemudian melalui masa kanak-kanak, remaja dan sampai dewasa. dari hidup menjadi mati kemudian dibangkitkan kembali.
Perjalanan kepada Allah terdiri dari tiga tingkatan¸adalah
1.      Syari’at atau Islam: yang berkaitan dengan anggota lahir
Yang dimaksud syari’at, adalah: mengambilnya seseorang dari agama Allah dengan mengarjakan perintah Allah dan menjauhi segala laraangan-Nya. Contoh: mengerjakan shalat, puasa, haji dan lain-lain. Separti terdapat didalam surat
  
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, niscaya Allah akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar".(Q.S At-Tahaabun ayat 9).
 Tingkatan ini (syari’at) bisa dicapai dengan 3 perkara: taubat, taqwa dan istiqamah.

2.      Tarekat atau Iman: yang berkaitan dengan anggota bathin (menjaga hati)
Yang dimaksud Tarekat, adalah mengambilnya seseorang dari agamanya Allah, dan mengerjakan dengan lebih berhati-hati. Contoh: mengerjakan shalat dengan mahabah, khusyu’ dan ikhlas. Seperti terdapat dalam surat .
"Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah"(Q.S Al-Baqarah ayat 165)
Tingkatan ini (tarekat) bisa dicapai dengan tiga perkara: ikhlas, shidiq dan tuma’ninah.

3.      Hakekat atau Ihsan: yang berkaitan dengan ruh, untuk bisa lebih mengingat dan memandang Allah.
Yang dimaksud hakekat yaitu: mengambilnya seseorang dari agamanya Allah dengan menghasilkan apa yang dicari (orang yang sudah bisa mengambil isi ibadah atau suhud kepada Allah). Contoh: mengerjakan shalat dengan tidak lepas dari mengingat Allah, atau menerjakan shalat dan shalatnya bisa menjaga dari perbuatan jahat dan mungkar. Seperti terdapat dalam surat Al-hadid ayat 4.
 
"Dan Dia (Allah) bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan".
            Tingkatan ini (hakekat) bisa dicapai dengan 3 perkara: Muraqabah, musyahadah dan ma’rifat.

        Pentingnya bagi seseorang yang menuju (perjalanan) kepada Allah untuk bisa menggabungkan  syari’at, tarekat dan hakikat. Karena hakekat tanpa syari’at adalah suatu pekerjaan yang batal dan syari’at tanpa hakekat adalah pekarjaan yang kosong(belum mempunyai makna).[2] Terdapat dalam surat At-Taha ayat 14.

"Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku".

Setelah kita memahami perjalanan menuju kepada Allah, maka seseorang dalam perjalanan hidupnya menuju  ke alam  berikutnya dengan caran menempuh suatu sistem dan metode yang disebut suluk
Suluk sama dengan pelaksanaan ibadah dengan sebenar-benarnya, bersyari’at dengan bertarekat untuk berhakekat.

B.     Pengertian Suluk
Secara etimologis, kata suluk berarti jalan atau cara, bisa juga diartikan kelakuan atau tingkah laku, sehingka husnu al-suluk berarti kelakuan yang baik. Kata suluk adalah bentuk masdar yang diturunkan dari bentuk verbal "salaka yasluku" yang secara harfiah mengandung beberapa arti yaitu "Memasuki, melalui jalan, bertindak dan memasukkan". [3]
Suluk di dalam istilah tasawuf adalah jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah SWT atau cara memperoleh ma'rifat. Dalam istilah selanjutnya istilah ini digunakan untuk sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar ia dapat mencapai suatu ikhwal (keadaan mental) atau maqam tertentu.[5] 
Di dalam kunci memahami tasawuf, suluk diartikan sebagai perjalanan spiritual menuju Sang Sumber. Ini adalah metode perjalanan melalui berbagai keadaan dan kedudukan. Seseorang yang menempuh jalan ini disebut salik Sang hamba yang telah jauh berjalan menuju Allah adalah yang telah sungguh-sungguh menunjukkan  penghambaanya kepada Allah.[6]
Menurut Yusuf Qardawi menegaskan  bahwa suluk pada dasarnya adalah perjalanan menuju Allah yakni mengenal Allah dan mencintai-Nya serta benar-benar bertakwa kepada-Nya.
Menurut Imam al-Gazali, suluk berarti menjernihkan akhlaq, amal pengetahuan. Suluk dilakukan dengan cara aktif berkecimpung dengan amal lahir dan amal bathin. Semua kesibukan hamba dicurahkan kepada Tuhannya, dengan membersihkan bathinnya  untuk  persiapan  wushul kepada-Nya.[7]

C.    Hakikat suluk
Adapun hakekat suluk, ialah mengosongkan diri dari sifat-sifat madzmumah atau buruk (dari maksiat lahir  dan dari maksiat bathin) dan mengisinya dari sifat-sifat yang terpuji atau mahmudah (dengan taat lahir  dan bathin).[8]
Tahapan-tahapan yang harus ditempuh ke arah mencapai hakikat suluk adalah:
1.     Marhalah  Amal Lahir yaitu melakukan  amal  ibadah  yang  bersifat lahir atau nyata.
2.     Marhalah Amal Bathin atau muroqobah (mendekatkan diri  kepada Allah) dengan jalan membersihkan diri dari maksiat lahir dan batin.
3.     Marhalah Riyadlah atau melatih diri dan mujahadah atau mendorong diri untuk selau berusaha lebih dekat dengan Allah. Seperti dalam firman-Nya dalam surat Al-Ankabut ayat 69:   
"Dan mereka yang mujahadah atau bersungguh-sungguh mencari Allah, sungguh kami (Allah) akan menunjukkan jalan tarekat kepada kami dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebajikan.”[9]
Maksud mujahadah ini adalah melakukan jihad lahir untuk menambah kuatnya kekuasaan rohani atas jasmani guna  membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa-apa yang bersifat suci, sehingga mustahiq  memperoleh berbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesarannya.[10]

D.    Macam-Macam Suluk
Secara umum suluk dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: Suluk Ibadah, Suluk Riyadah dan Suluk Mujahadah. 
1.      Suluk Dalam Bentuk Ibadah.
Bentuk dari suluk ini adalah dengan melakukan aktifitas ibadah, baik ibadah wajib maupun sunah, seperti berwudlu, shalat dan puasa, kemudian melakukan kesunahan-kesunahan lain, begitu juga dzikir dan wirid.
Jalan yang ditempuh dalam suluk semacam ini mengenai perbaikan syariat, yang sebenarnya merupakan kehidupan orang Islam sehari-hari itu menjadi lebih sempurna. Meskipun demikian menurut anggapan shufi petunjuk yang diperoleh dalam amal yang demikian itu sama, ada yang lekas mencapainya, ada yang sampai bertahun-tahun perbuatannya dalam beribadah itu belum berubah yang berkepentingan belum dapat menangkap hikmah-hikmah dan kegemaran dalam ibadah lahir itu.[11]
2.      Suluk Dalam Bentuk Riyadah.
Suluk Riyadlah ini adalah pelajaran akhlak untuk melatih diri agar jiwa ini selalu dekat dengan Allah seperti yang diperintah dalam Islam. 
Begitu juga hal-hal lainnya yang berkaitan dengan suluk dalam bentuk  riyadah semua  sifat-sifat  baik (akhlaqul karimah) dijadikan perbuatan dan amalan sehari-hari, supanya perbuatannya bisa terhindar dari sifat-sifat madzmumah.
3.      Suluk Mujahadah 
Suluk yang ketiga ini adalah untuk latihan hidup menderita. Salah satu usaha shufi untuk menormalisir kepribadian ini ialah  berkelana  dalam daerah-daerah yang belum dikenalnya, adapun bentuk amalan suluk mujahadah  yang dimaksud adalah seperti:

a.       Membantu orang yang membutuhkan di daerah-daerah yang di datangi.
b.      Melakukan perjalan ke tempat yang sama sekali yang belum pernah di datanginya      seperti naik turun ke gunung dan jurang, masuk  hutan.
Sedang tujuannya adalah untuk:
1)  Merubah akhlaq yang kikir menjadi orang yang dermawan.
2)  Menambah akhlaq menjadi penyayang terhadap sesama.
3)  Merubah akhlaq menjadi peka terhadap keadaan .


E.     Bentuk-Bentuk Suluk

Bersuluk adalah melakukan berbagi laku yang tujuannya untuk mendekakan diri kepada Allah seperti berikut ini:
1.‘Uzlah
Imam al-Gazali menegaskan bahwa uzlah adalah jalan memusatkan diri  untuk beribadah, bertafakur, dan menjalankan hati dengan bermunajat kepada Allah SWT sekaligus untuk menghindarkan diri dari pergaulan dengan makhluk. Kecuali itu untuk menggunakan waktu dengan menyingkapkan segala rahasia ciptaan Tuhan baik dengan urusan duniawi maupun ukhrawi, alam langit dan bumi serta alam malakut yang tidak terjangkau oleh panca indra. Hal demikian tidak akan tercapai tanpa mengasingkan diri atau uzlah dari kesibukan dan pergaulan sehari-hari dengan orang lain.[12]
Manfaat  uzlah  menurut  Imam  Al-Gazali  meliputi dua hal, yakni  manfaat keagamaan dan manfaat keduniawian. Diantara manfaat keagamaan adalah dimungkinkannya seseorang lebih dapat melakukan ketaatan-ketaatan agama secara lebih  serius dan  intensif seperi rajin beribadah, bertafakur, dan juga menghindari larangan-larangan agama seperti munculnya sifat riya’, gibah, dengki serta terseret pada pergaulan-pergaulan buruk lainnya. 
Adapun manfaat-manfaat yang bersifat keduniawian, seperti lebih berkonsentarsi dalam berkerja, terhidar dari pertikaian, peperangan, konflik yang berkepanjangan dan lain sebagainnya.[13]
Menurut pensyarah Al-Hikam, Syekh Zaruq, membagi ‘uzlah dalam tiga kategori:
Pertama, manusia yang ‘uzlah kalbunya, sementara fisiknya tidak. Inilah yang merupakan eksistensi yang nyata dan perjalanan yang cemerlang. Situasi dan kondisi mistikalnya adalah kondisi manusia-manusia  muttaqin dan  telah  mencapai keparipurnaan. 
Kedua, manusia yang menyendiri dalam fisiknya tetapi kalbunya tidak. Kondisi ini lumanyan baik, namun harus memenuhi beberapa syarat, untuk menyongsong  arus  Rahmat  Allah  dalam kondisinya. 
Dan ketiga, ‘uzlah lahir dan batin. Yaitu mereka yang disebut dengan al-Mutakhalli atau Takhalli. Kondisi ketiga ini nantinya akan memasuki tahalli (berias dengan akhlak mulia), dilanjutkan dengan tajalli (menjadi manifestasi  cahaya  Ilahi). 

Kategori manusia yang ‘uzlah lahir dan batin itu, terbagi pula menjadi tiga:
a.       Orang yang ‘uzlah agar dirinya bisa selamat,
b.      Orang yang ‘uzlah karena ingin meraih sesuatu, dan 
c.       Orang yang ‘uzlah untuk mendapatkan kenikmatan.

Uzlah dipandang dari sifatnya dibagi dua macam yaitu:
a.       Uzlah bathin adalah kondisi bathin yang selalu berusaha, riyadlah, pergi, meninggalkan kesenangan duniawi selalu mendekatkan diri kepada Allah walaupun masih tinggal dan hidup bersama masyarakat. 
b.       Uzlah dzahir ialah uzlah yang membawa seganap  jiwa  dan  raga bukan yang bersifat simbolik, melainkan bersifat dzahir, (riyadlah bersifat fisik) semisal pergi kegunung-gunung, hutan, berjalan menjadi musafir untuk bertafakur, beribadah kepada Allah supaya mendapatkan rindla -Nya.

2.  Khalwat
Menurut tasawuf khalwat dilihat secara dzohir dan batin. Khalwat zahir ialah apabila seseorang mengambil keputusan untuk memisahkan dirinya daripada dunia, memencilkan dirinya di dalam satu ruangan yang terpisah daripada orang ramai supaya manusia dan makhluk di dalam dunia selamat daripada kelakuan dan kewujudannya yang tidak  diingini. Dia juga berharap pengasingan itu akan mendidik egonya.


Jadi khalwat adalah salah satu cara bagaimana salik bisa lebih dekat dengan Khaliqnya melalui penyendirian. Hati yang berkhalwat bisa saja dalam keadaan bersama masyrakat karena khalwat bisa secara bathin yaitu keadaan hati yang selalu menyendiri dari  pengaruh  duniawi  dan disibukkan bersama Ilahi. 

3.  Zuhud
Zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Jika tidak memiliki keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak dapat dibedakan lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia. Rasulullah pernah bersaba tentang zuhud sebagai berikut:[16]

Zuhudlah terhadap dunia niscaya kamu di cinta Allah, zuhudlah terhadap apa yang dimiliki ma nusia niscaya kamu akan di cintai oleh mereka.” 

Dalam pandangan kaum shufi bahwa dunia dan segala kehidupan materi dan isinya adalah merupakan sumber kemaksiatan, kemungkaran yang dapat menjauhkannya dari Tuhan, menyebabkan kejahatan dan dosa. Karena hasrat, keinginan dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai ghayah (tujuan akhir) dalam hidupnya, sehingga memalingkannya dari Tuhan. Oleh karena itu, maka seorang shufi dituntut untuk terlebih dahulu meninggalkan atau memalingkan seluruh aktifitas jasmani dan ruhani dari ha-hal yang bersifat duniawi. 

Dengan demikian segala apa yang dilakukan dalam kehidupan tidak lain hanyalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan,[17] sehingga dunia tidak berpengaruh dalam kehidupan, tidak menjadikan susah maupun senang, karena kesusahan menerutnya adalah ketika jiwa kita jauh dengan Tuhan dan kesenangan sejati adalah ketika dekat dengan-Nya. Karena susah dan senang dalam dunia  bersifat sementara, sesuai dengan firman Allah dalam QS An-Nisa’, 4: 77:
“…Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.”[18]

Akan tetapi zuhud tidak berarti sama sekali meniggalkan kehidupan dunia dan semata-mata mengurus kehidupan akhirat saja,[19] zuhud adalah bagai mana cara seseorang memandang dunia.

Jadi, tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan karena adanya dominasi kedekatan kepada Allah SWT.

4. Tawakal
Tawakal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada  Allah SWT untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya,  baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.89 Allah SWT berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 2-3.

“…Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya  jalan keluar  dan  memberi  rizqi  dari arah yang tiada  ia  sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakal kepada  Allah, niscaya Allah akan mencukupkan  (keperluan)nya  …”[20]

Imam al-Gazali mengatakan bahwa maqam tawakal terdiri dari tiga unsur Ilmu, hal dan amalan, maksudnya adalah: hal merupakan tawakal dalam  dirinya sedangkan Ilmu adalah dasar dari tawakal, amal merupkan buwahnya.[21]

5.  Sabar
Sabar juga bermakana ketabahan dalam menerima  sesuatu  kepahitan  dan kesulitan,[22] atau dalam  keadaan berbahagia atau berduka baik secara jasmani maupun ruhani. Allah SWT berfirman dalam Surat an-Nahl: 127:

Bersabarlah, dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah… ” [23]
Kesabaran tidak terikat oleh tempat dan waku, kesabaran dalam berbagai keadaan bagi seorang salik adalah sebuah keharusan sehingga mampu memahami diri yang bisa mendekatkan kepada Allah. 
F.     Berguru dalam bersuluk
Kepentingan berguru hal ini agar memilki ilmdengan tidak menduga-duga dan ada kontrol jika terjadi kekeliruansaat orang-orang tak berdaya untuk memberikan peringatan atau usaha pelurusan. Dalam tataran sebagai proses dalam bersuluk, minimal guru sebagai berfungsi sebagai sarana atau wasilah untuk mencapai maqam atau kedudukan disisi Allah sebagai mursyid.   

G.    Kesimpulan
Dalam makalah ini pemahaman arti suluk dalam arti umum, yaitu perjalanan menuju Allah dengan mengikuti al-Quran da as-Sunah serta membersihkan hati, dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji dan membersihkan diri dari peruatan yang tercela.  Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa bertasawuf dan bersuluk adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan ibarat satu koin mata uang, satu sisi menguatkan sisi yang lain, orang yang mengaku bertasawuf sudah pasti bersuluk, karena makna dari  tasawuf  adalah bersuluk secara hakiki. 

Orang yang bersuluk tidak bisa dibatasi bagaimana amal, usaha atau lakunya, garis besarnya ialah tergantung pada niatan awal yaitu selalu ingin dekat dan ingin mendapat rindla dari Allah. Jadi seperti teori–teori yang digambarkan diatas mulai dari uzlah, khalwat, zuhud, tawakal, sabar  adalah sebagian kecil dari bertasawuf, dan salah satu laku seorang salik, yang menginginkan kebersamaan bersama Allah SWT. 

Allah Maha Agung, Maha Luas Karunianya, segala  sumber makluk yang tampak maupun yang tidak tampak, dzohir maupun batin di segala penjuru terdapat wajah-Nya. Maka untuk mendekati-Nya pun tergantung  seorang  shufi, akan tetapi teori-tori yang dituturkan di atas dibatasi agar pembahasannya tidak terlau melebar dan hanya berkutat pada masalah uzlah, khalwat, zuhud, tawakal dan sabar  karena menyesuaikan dengan tema yang di angkat.  

Maka bagi seseorang yang ingin menempuh jalan kepada llahi bertasawuf  dan  bersuluk  berjalanlah  dengan  kebeningan hati, hati  yang bening menerima cahanya  jalan  yang  bersal  dari  Allah,  Allah memuliakan orang yang memuliakan dengan jalan-Nya.




  
DAFTAR PUSTAKA
Husain Nawawi Ahmad, Faidurrahman, jilid I, kamalul Mutaba’ah: Cirebon,2011
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet.1, jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993
Amatullah  Armstrong,  Kunci  Memasuki  Dunia  Tasawwuf:  Khasanah  Istilah  Sufi, Mizan, Bandung
Imam Al-Gazali, Taman Jiwa Kaum Sufi, Terj. Abu Hamid, Risalah Gusti, Surabaya, 1994 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf,  Surabaya,  PT  Bina  Ilmu,  1979
Masharuddin,  Pembrontakan  Tasawuf  Kritik  Ibn  Taimiyyah  Atas  Rancang  Bangun Tasawuf , JP Books, Surabaya, 2007
Lih. Al-Khafidz Abi ‘Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Darul Fikr, jilid 2, t. th
Abubakar Aljeh, Pengantar Ilmu Tarekat , Ramadhani, Solo, 1992
Hasyim  Muhammad,  Dialog  Antara  Tasawuf  dan  Psikologi,  Pustaka  Pelajar, Yogyakarta, 2002

Foot note
[1] Husain Nawawi Ahmad, Faidurrahman, jilid I, kamalul Mutaba’ah: Cirebon,2011, hlm.13
[2] Ibid, hlm.14-18.
[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet.1, jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, hlm. 292
[5] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 292
[6] Amatullah  Armstrong,  Kunci  Memasuki  Dunia  Tasawwuf:  Khasanah  Istilah  Sufi, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 268
[7] Imam Al-Gazali, Taman Jiwa Kaum Sufi, Terj. Abu Hamid, Risalah Gusti, Surabaya, 1994, hlm. 21
[8] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf,  Surabaya,  PT  Bina  Ilmu,  1979, hlm.251
[9] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 787
[10] Ibid., hlm.18
[11] Abubakar Aljeh, Pengantar Ilmu Tarekat , Ramadhani, Solo, 1992, hlm.122
[12] Masharuddin,  Pembrontakan  Tasawuf  Kritik  Ibn  Taimiyyah  Atas  Rancang  Bangun Tasawuf , JP Books, Surabaya, 2007,  hlm. 178
[13] Masharuddin, op. cit., hlm. 180

[16] Al-khafidz Abi ‘Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini op. cit., hlm. 1373-1374
[17] Hasyim  Muhammad,  Dialog  Antara  Tasawuf  dan  Psikologi,  Pustaka  Pelajar, Yogyakarta, 2002,  hlm. 35
[18] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm.  169
[19] Djamaluddin Ahmad Al-Buny, op. cit., hlm. 103
[20] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 1133
[21] Sa’id Hawa, Tazkiyatun Nafs, Pena, Jakarta, 2006,  hlm, 353
[22] Ahmad Yani, op. cit., hlm. 52
[23] H. Oemar Bakry,op. cit., hlm. 537

No comments:

Post a Comment