Saturday, 26 December 2015

MAKALAH DIMENSI SPIRITUAL DAN ETIKA BUDAYA JAWA



DIMENSI SPIRITUAL DAN ETIKA DALAM KEBUDAYAAN JAWA
(Nilai Esensial Akulturasi Budaya Jawa dan Islam)

I.             Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah Islam dan budaya. Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di manapun dan kapanpun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Sedangkan budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kedua istilah itu berbeda, tetapi dua kata tersebut saling berkaitan.[1]
Pengaruh kebudayaan Islam di Jawa telah berakulturasi dan berasimilasi menjadi suatu kebudayaan baru dalam kehidupan masyarakat Jawa. Banyak orang yang bingung untuk membedakan antara budaya dan agama, karenanya perpaduan budaya Islam dengan budaya Jawa sangat akrab dikalangan orang Jawa. Dikalangan orang Jawa sering memadukan budaya lokal mereka ke dalam ajaran keislaman. Islam datang ke Indonesia tidak dalam keadaan vakum cultural atau peradaban, karena di situ sudah ada kerajaan besar baik kerajaan Hindu maupun kerajaan Budha. Oleh karena itu, wajarlah jika terjadi akulturasi dalam bidang budaya dan sinkretisasi dalam bidang akidah, dan hal-hal tertentu dalam kehidupan masyarakat Jawa. Mengenai budaya apa saja yang sudah diakulturasikan ke dalam ajaran Islam, untuk itu makalah ini akan membahas masalah tersebut secara lebih rinci dan mendalam. 

II.          Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang :
A.       Historis Budaya Jaawa dan Islam
B.        Akulturasi Budaya Jawa
C.        Nilai-nilai esensial Budaya Jawa dalam persepektif Islam

A.    Historis Budaya Jawa dan Islam
Pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dipahami sebagai resepsi tradisi Jawa terhadap ajaran Islam. Relasi antara Islam dan budaya Jawa layaknya dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.[2] Pada satu sisi, Islam hadir dan berkembang dipengaruhi oleh kultur atau budaya Jawa. Di sisi lain, budaya Jawa dipengaruhi oleh khazanah Islam yang begitu beragam. Pertemuan keduanya menunjukkan karakter yang khas berbentuk budaya yang sinkretis yaitu Islam Kejawen (agamaIslam yang bercorak kejawaan). Pertemuan inilah dapat ditemukanpola‚simbiosis mutualisme‛ antara Islam dan budaya Jawa.[3] Pola itu bermakna bahwa antara Islam dan budaya Jawa mempunyai keterkaitan yang saling menguntungkan satu sama lain. Akomodasi budaya Jawa terhadap ajaran Islam memiliki asas kemanfaatan yang besar, dan begitupun sebaliknya.
Tradisi Jawa pada saat itu sangat kental dengan kepercayaan masyarakat Jawa, yaitu animisme dan dinamisme merupakan agama Jawa tertua yang mereka yakini. Pemujaan roh dan benda-benda tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan dan dapat mendatangkan berbagai berkah mewarnai kehidupan beragama orang-orang Jawa. Selain kedua sumber kebatinan tersebut, mereka juga menganggap terdapat orang sakti dan memiliki perewanganyang datang dari kekuatan roh leluhur atau nenek moyang dan jimat dari benda-benda bertuah. Gambaran-gambaran ritual pemujaan roh yang dilakukan oleh masyarakat Jawa saat itu adalah slametan orang meninggal dengan berbagai macamnya, dari slametan surtanah (geblag),nelungdina, pitung dina, matangpuluh, nyatus, mendhak pisan,mendhakpindho, dan nyewu (nguwis-uwisi). Pemujaan lainnya adalah pemberian sesaji bagi dhanyang merkayan, sing mbaureksa, atau roh leluhur yang menjaga rumah atau tempat tinggal.Ritual slametan itu didasarkan pada hari atau penanggalan tertentu. Kepercayaan semacam itu sudah ada sejak zaman Hindu-Budha, kemudian terus berkembang dan menjadi suatu kepercayaan baru yaitu sinketisme.
Konsep mistik ini sering disebut dengan paham panteisme atau manunggaling kawula-gusti. Dari paham itu munculpembagian beberapa kelompok  Islam seperti Islam puritan (santri), abangan (kejawen) yang menganut kebatinan, dan Islam priyayi. Nuansa sinkretis yang paling banyak muncul dalam bentuk karya-karya sastra berbentuk suluk, wirid, dan primbon.
Masuknya Islam ke Jawa tidak terlalu banyak mengalami kendala karena Islam telah dipeluk oleh keraton sebagai basis untuk negara teokratik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hodgson dalam menjawab pertanyaan sejarah masuknya Islam ke Jawa. Sufisme (Islam mistik) membentuk inti kepercayaan negara (state cult) dan teori kerajawian yang tampak dari kerajaan-kerajaan Bali yang terindianisasi dan daratan Asia Selatan sebagai model utama agama rakyat. Hal itu juga tidak terlepas dari hubungan antara teks-teks keagamaan, agama rakyat, organisasi sosial, wacana sosial dan keagamaan. Usaha ini bertujuan untuk menyatukan teori neo-Tylorian, yang mendefinisikan agama sebagai suatu sistem penjelasan (explanatory system) dengan antropologi kognitif kontemporer dan ‚teori praktik‛ (practice theory).
Melalui analisis ini akan mendapatkan suatu sistem pengetahuan aksiomatik, yang menyelesaikan secara teoretis, baik historis maupun etnografis.33Dengan demikian, sufisme dalam Islam dapat dipahami secara integratif dan korelatif. Ketiga aspek bekerja secara sistematis untuk menunjukkan eksistensi sufisme Islam sebagai bentuk kesalehan sosial dan normatif.
Dalam memahami hal-hal keagamaan terdapat suatu substansi kuat yang menghubungkan antara ritual dan syari’ah (hukum Islam) serta bentuk-bentuk tingkah laku, yang sering disebut dengan ‚kesalehan normatif‛. Maksudnya adalah seperangkat tingkah laku yang didasarkan pada firman Allah melalui sabda Nabi Muhammad, bagi umat Islam. Doktrinnya adalah bahwa gnosis atau  kesatuan dengan Allah bisa dicapai dengan jalan mistik atau sering dikenal dengan Sufisme yang bertujuan untuk membebaskan dari segala keinginan dan nafsu duniawi yang menghalangi manusia menyatu dengan Tuhannya. Lebih dari itu, persoalan yang berkembang adalah terkait penafsiran yang berbeda terhadap seperangkat aksioma budaya atau keagamaan yang tunggal, diantaranya;

1.         keesaan Allah (tauhid)
2.         pembedaan Sufi antara makna batin
3.         pandangan Alquran dan Sufi bahwa hubungan manusia dan Tuhan harus dipahami sebagai hubungan antara kawula dan Gusti
4.         kesamaan mikrokosmos dan makrokosmos yang sama-sama dianut oleh tradisi tradisi Sufi dan Hindu.[4]

mengenai pengalaman subyektif yang pernah dialaminya. Sebab pada dasarnya perasaan‛ dan ‚makna‛ itu satu, dan pengalaman subyektif itu adalah kebenaran religius yang dialami secara subyektif sebuah analisis empiris atas persepsi batiniah dan kenyataan lahiriah. keduanya berpadu dalam suatupengalaman yang melibatkan keaktifan nalar sosial dan nalar spiritual, yang diawali dengan spekulasi. Prinsip spekulasi itu bukan dalam artian mengartikan sesuatu dengan asal, tetapi lebih dikarenakan keterbatasan ruang-ruang empiris dalam menunjukkan kenyataan sebenarnya.

B.     Akulturasi Budaya Jawa

Akulturasi menurut kamus Antropologi adalah pengembalian atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu. Konsep ini terjadi dengan munculnya kebudayaan asing yang dihadapkan pada satu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu sehingga lambat laun kebudayaan asing tersebut diterima oleh suatu kebudayaan satu kelompok tersebut.
Dalam konsep tersebut Islam diposisikan sebagai kebudayaan asing dan masyarakat lokal sebagai penerima kabudayaan asing tersebut. Misalnya masyarakat Jawa yang memiliki tradisi “slametan” yang cukup kuat, ketika Islam datang maka tradisi tersebut tetap berjalan dengan mengambil unsur-unsur Islam terutama dalam doa-doa yang dibaca. Wadah slametannya tetap ada, tetapi isinya mengambil ajaran Islam.
Menurut Koentjaraningrat (1981), terdapat lima hal dalam proses akulturasi:
1.    Keadaan masyarakat penerima, sebelum proses akulturasi mulai berjalan;
2.    Individu-individu yang membawa unsur kebudayaan asing itu;
3.   Saluran-saluran yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing untuk masuk ke            kebudayaan asing tadi;
4.    Reaksi dari individu yang terkena kebudayaan asing.[5]
           Sebelum agama Islam masuk ke Pulau Jawa, raja-raja Jawa sudah biasa melakukan upacara. Salah satu upacara yang dilaksanakan oleh raja-raja Jawa adalah upacara sedekah raja kepada rakyatnya. Upacara raja ini disebut raja wedha atau raja medha. Raja wedha berarti kitab suci raja. Karena raja-raja Jawa beragama Hindu, maka kitab sucinya adalah Wedha. Raja medha berarti hewan kurban raja yang diberikan kepada rakyatnya. Biasanya dilakukan untuk menyambut tahun baru. Pelaksanaannya dipilih hari Selasa Kliwon atau anggara kasih.[6]
Dalam upacara tersebut yang terpenting adalah upacara makan bersama, yang biasa dikenal dengan slametan (ngoko) atau wilujengan (krami). Berbagai upacara keagamaan yang dilakukan dengan slametan, oleh orang Jawa dilakukan pada upacara yang terkait dengan hari-hari besar Islam. Hal yang sangat penting adalah berbagai perilaku keramat, seperti puasa (siyam), tirakat, atau mengendalikan diri dan dengan sengaja melakukan atau mencari kesukaran, bertapa (tapabrata), dan bersemedi.
Selain itu, terdapat salah satu temuan studi Muhadjirin Thohir terhadap masyarakat desa Sukodono dan Senenan, Jepara, menunjukkan adanya satu tindakan ritual (Islam dan Tradisi Jawa) yang dikaitkan dengan aktifitas ekonomi seperti yang juga nampak dalam upacara Slametan, yang disebut Rasulan.[7]
Untuk memulai usaha baru, masyarakat di sana lebih dulu mencari petung hari, tanggal, dan pasaran secara tepat, menziarahi makam orang tua, wali, dan leluhur desa. Kemudian melakukan selamatan membuka usaha atau selamatan Rasulan.
Hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam. Konsep hidup nrima ing pandum (ora ngoyo), selanjutnya mengisyaratkan bahwa orang Jawa hidup tidak terlalu berambisi.Usaha dalam upaya perubahan adalah sebuah improvisasi atas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Orang Jawa pra Islam mewujudkan hal tersebut dalam bentuk tapa, puasa, maupun sekedar menjaga diri dari perbuatan yang tidak baik. Hal ini bisa menggambarkan bahwa orang Jawa memahami dan menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat materialistik atau menahan hawa nafsu. Hal tersebut dipercaya bahwa melakukannya dapat menyucikan dan menenangkan  jiwa, serta bisa mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Islam bukanlah produk budaya, tetapi ajaran Islam mampu mewarnai berbagai aspek kebudayaan. Dalam implementasi ajarannya, Islam memerlukan media untuk mentransformasikan nilai-nilai universalnya ke dalam tataran praksis kehidupan. Dari sinilah muncul keragaman budaya Islam, yang disebabkan adanya perbedaan penafsiran dan pembumian ajaran Islam. Maka ajaran Islam sesungguhnya merupakan hasil perpaduan antara ajaran Islam yang dipahami masyarakat dengan kebudayaannya, atau penerjemahan universalitas ajaran Islam ke dalam lokalitas kebudayaan.

C.    Nilai Esensial Budaya Jawa dalam Islam
Pandangan masyarakat Jawa terhadap nilai kereligiusan masih sangat kaya pengaruhnya dengan budaya agama Hindu. Ada kecenderungan nilai religius budaya Jawa dengan tujuannya mencari makna terdalam segala hal ikhwal, namun sekaligus suatu kebimbangan terhadap kekuasaan para dewa. Nilai religius budaya Jawa mempunyai implikasi terhadap cara pandang masyarakatnya mengenai Tuhan.
Masyarakat adalah sebagai perwujudan dari kumpulan keluarga yang besar sehingga setiap anggota berhak mempunyai penghayatannya akan alam sebagai satu berkah dari Tuhan. Kosmos termasuk kehidupan benda dan peristiwa di dunia dan menjadi satu kesatuan yang eksistensial baik material maupun spiritual.
Setelah Islam datang ke Jawa, dan membawa paham monoteisme, lambat laun mengikis habis kepercayaan-kepercayaan lokal, yang masih menyakini adanya dewa-dewa dan dayang desa yang diekspresikan dalam bentuk upacara-upacara keagamaan lokal seperti : bersi desa, nyadran, tingkepan, dll. Kalaupun upacara itu masih dijalankan, tetapi isinya sudah hampir semua islam. Kepercayaan-kepercayaan lokal itu, sekarang sudah di ganti dengan hanya beriman kepada allah yang maha esa, sehingga upacara-upacara itu telah digantikan dalam bentuk peribadatan menurut ajaran islam. Proses hilangnya kepercayan-kepercayaan asli tersebut melalui proses panjan, dengan interaksi yang intensif antara islam dan kebudayaan jawa. Proses tersebut bahkan sampai sekarang masih terus berlangsung setelah berjalan enam abad lebih. Upacar sesaji dan slametan sudah jarang dilakukan, diganti dengan sholat sunat dan ibadah-ibadah lain menurut ajaran Islam.[8] Akan tetapi masih ada sebagian masyarakat Indonesia yang melakukan hal tersebut.
Sesuai dengan kodratnya, budaya jawa, seperti halnya budaya-budaya lain, pasti akan selalu mengalami proses perubahan atau perkembangan dalam arti yang luas. Dalam arti sempit perkembangan itu kita batasi pada perubahan kearah kwalitas yang tinggi. Sedang sebaliknya, perubahan kearah kwalitas yang rendah, biasanya kita sebut sebagai kemerosotan atau degradasi. Jadi pengembangan budaya jawa adalah upaya secara sadar untuk secara terus menerus meningkatkan kwalitas budaya jawa. 
Dalam akulturasi budaya Jawa dan Islam, tidak luput dengan tradisi masyarakat yang memiliki nillai spiritual dan etika. Tradisi adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang dengan disengaja, dan bukan terjadi secara kebetulan.[9] Hukum melanggar tradisi masyarakat adalah tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan dalam Islam.
Dalam hal ini, penulis sedikit memberikan contoh tradisi-tradisi budaya jawa yang mempunyai nilai-nilai keislaman, antaralain:
            Tradisi Ngapati, Mitoni dan Tingkepan (Melet kandung)
Ngapati atau Ngupati adalah upacara selamatan ketika kehamilan menginjak pada usia 4 bulan. Sedangkan upacara Mitoni atau Tingkepan (melet kandung) adalah upacara selametan ketika kandungan berusia 7 bulan.upacara selametan tersebut dilakukan dengan tujuan agar janinyang ada dalam kandungan nantinya lahir dalam keadaan sehat, wal afiyat serta menjadi anak yang soleh.
Al-Quran al-Karim menganjurkan kita agar selalu mendo’akan anak cucu kita, kendatipun mereka belum lahir. Dalam al-Quran dikisahkan tentang kisah Nabi Ibrahim yang mendo’akan anak cucunya yang masih belum lahir.[10] Terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 124
$uZ­/u $uZù=yèô_$#ur Èû÷üyJÎ=ó¡ãB y7s9 `ÏBur !$uZÏF­ƒÍhèŒ Zp¨Bé& ZpyJÎ=ó¡B y7©9
 “Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.” (QS. Al-Baqarah: 128)

III.       Kesimpulan
Agama Islam yang mengajarkan sikap toleransi terhadap sesama agama menjadikan Islam yang berkembang di indonesia mempunyai beragam budaya. Kelestarian budaya yang terdapat di Indonesia yang mengandung ajaran Islam sampai sekarang, tradis tersebut tetap lestari agar Islam pada saat itu mudah di terima oleh masyarakat. Karena sekarang ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat cepat dan memudahkan dalam memahami pengetahuan agama Islam. Sehingga mendorong kita untuk kembali pada Al-Quran da Al-Hadist. Karena Islam tidak mengajarkan ajaran agama Hindu dan agama Budha di dalam Al-Quran dan Al-Hadist sebaiknya kita tinggalkan.





Daftar Pustaka
Prabowo Dhanu Priyo,Pengaruh Islam Dalam Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita (Yogyakarta:  Narasi, 2003)
Yusuf Mundzirin, dkk,  Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka Press, 2005).
Akademik Pokja, Islam Dan Budaya Lokal  (Yogyakarta Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga:,2005).
Ramli Muhammad Idrus Membedah Bid’ah dan Tradisi dalam Persepektif Ahli Hadiits dan Ulama’ Salafi, (Surabaya: Khalista, Cet. I, 2010).






[1] Kelompok Islam tersebut mempunyai ritual dan pemahaman terhadap Islam yang berbeda. Bahkan, Geertz menegaskan perbedaan itu sebagai dikotomi santri, priyayi, dan abangan. Keberadaan sinkretisme Jawa merupakan hasil pengolahan dan penyesuaian antara budaya lama dengan budaya Jawa, yang sering dikenal dengan istilah agama Jawa atau kejawen. Selain itu, sinkretisme dianggap sebagai tradisi rakyat yang dirintis oleh kaum Abangan.

[2] Dhanu Priyo Prabowo,Pengaruh Islam Dalam Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita (Yogyakarta:  Narasi, 2003), hlm  9.
[3] Ibid,hlm. 10.
[4] penafsiran tersebut disadari atau tidak berpengaruh pada pola tingkah laku manusia baik secara sosial maupun secara keagamaan, meskipun melalui cara memahami yang berbeda. Apabila ditelisik lebih jeli lagi, sebenarnya substansinya mempunyai kesamaan kuat dan dalam  batasan yang masih menyatu. Jika melihat kenyataan di masyarakat, orang Jawa mempercayai arus  pengalaman subyektif sebagai sebuah mikrokosmos dari alam semesta yang sangat luas ini. Hal itu juga merupakan konsep Jawa yang meminjam istilah India, yang ditafsirkn secara khas.


[5] Mundzirin Yusuf, dkk,  Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka, 2005), hlm. 16.
[6] Ibid, hlm. 129.
[7] Ibid, hlm. 18.
[8] Pokja Akademik, Islam Dan Budaya Lokal  (Yogyakarta Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga:,2005), hlm.19-20.
[9] Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bid’ah dan Tradisi dalam Persepektif Ahli Hadiits dan Ulama’ Salafi, (Surabaya: Khalista, Cet. I, 2010), hlm. 39.
[10] Ibid, hlm. 41.

No comments:

Post a Comment