DIMENSI SPIRITUAL DAN ETIKA DALAM
KEBUDAYAAN JAWA
I.
Pendahuluan
Dalam kehidupan
sehari-hari, kita sering mendengar istilah Islam dan budaya. Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau
keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai
utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di manapun dan
kapanpun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Sedangkan
budaya adalah suatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Kedua istilah itu berbeda, tetapi dua
kata tersebut saling berkaitan.[1]
Pengaruh kebudayaan Islam di Jawa telah berakulturasi dan
berasimilasi menjadi suatu kebudayaan baru dalam kehidupan masyarakat Jawa. Banyak orang
yang bingung untuk
membedakan antara
budaya dan agama, karenanya perpaduan budaya Islam dengan budaya Jawa sangat akrab dikalangan orang Jawa. Dikalangan
orang Jawa sering memadukan budaya lokal mereka ke dalam ajaran keislaman. Islam datang ke Indonesia tidak
dalam keadaan vakum cultural atau peradaban, karena di situ sudah ada kerajaan
besar baik kerajaan Hindu maupun kerajaan Budha. Oleh karena itu, wajarlah jika
terjadi akulturasi dalam bidang budaya dan sinkretisasi dalam bidang akidah,
dan hal-hal tertentu dalam kehidupan masyarakat Jawa. Mengenai budaya
apa saja yang sudah diakulturasikan ke dalam ajaran Islam, untuk itu makalah
ini akan membahas masalah tersebut secara lebih rinci dan mendalam.
II.
Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang :
A. Historis Budaya Jaawa dan Islam
B.
Akulturasi
Budaya Jawa
C.
Nilai-nilai
esensial Budaya Jawa dalam persepektif Islam
A.
Historis
Budaya Jawa dan Islam
Pertemuan
antara Islam dan budaya Jawa dipahami sebagai resepsi tradisi Jawa terhadap
ajaran Islam. Relasi antara Islam dan budaya Jawa layaknya dua sisi mata uang
yang tidak terpisahkan.[2]
Pada satu sisi, Islam hadir dan berkembang dipengaruhi oleh kultur atau budaya
Jawa. Di sisi lain, budaya Jawa dipengaruhi oleh khazanah Islam yang begitu
beragam. Pertemuan keduanya menunjukkan karakter yang khas berbentuk budaya
yang sinkretis yaitu Islam Kejawen (agamaIslam yang bercorak kejawaan).
Pertemuan inilah dapat ditemukanpola‚simbiosis mutualisme‛ antara Islam dan
budaya Jawa.[3] Pola itu bermakna bahwa antara Islam
dan budaya Jawa mempunyai keterkaitan yang saling menguntungkan satu sama lain.
Akomodasi budaya Jawa terhadap ajaran Islam memiliki asas kemanfaatan yang
besar, dan begitupun sebaliknya.
Tradisi
Jawa pada saat itu sangat kental dengan kepercayaan masyarakat Jawa, yaitu
animisme dan dinamisme merupakan agama Jawa tertua yang mereka yakini. Pemujaan
roh dan benda-benda tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan dan dapat
mendatangkan berbagai berkah mewarnai kehidupan beragama orang-orang Jawa.
Selain kedua sumber kebatinan tersebut, mereka juga menganggap terdapat orang
sakti dan memiliki perewanganyang datang dari kekuatan roh leluhur atau nenek
moyang dan jimat dari benda-benda bertuah. Gambaran-gambaran ritual pemujaan
roh yang dilakukan oleh masyarakat Jawa saat itu adalah slametan orang meninggal
dengan berbagai macamnya, dari slametan surtanah (geblag),nelungdina, pitung
dina, matangpuluh, nyatus, mendhak pisan,mendhakpindho, dan nyewu
(nguwis-uwisi). Pemujaan lainnya adalah pemberian sesaji bagi dhanyang
merkayan, sing mbaureksa, atau roh leluhur yang menjaga rumah atau tempat
tinggal.Ritual slametan itu didasarkan pada hari atau penanggalan tertentu. Kepercayaan
semacam itu sudah ada sejak zaman Hindu-Budha, kemudian terus berkembang dan
menjadi suatu kepercayaan baru yaitu sinketisme.
Konsep
mistik ini sering disebut dengan paham panteisme atau manunggaling kawula-gusti.
Dari paham itu munculpembagian beberapa kelompok Islam seperti Islam puritan (santri), abangan
(kejawen) yang menganut kebatinan, dan Islam priyayi. Nuansa sinkretis yang
paling banyak muncul dalam bentuk karya-karya sastra berbentuk suluk, wirid,
dan primbon.
Masuknya
Islam ke Jawa tidak terlalu banyak mengalami kendala karena Islam telah dipeluk
oleh keraton sebagai basis untuk negara teokratik, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Hodgson dalam menjawab pertanyaan sejarah masuknya Islam ke Jawa. Sufisme
(Islam mistik) membentuk inti kepercayaan negara (state cult) dan teori
kerajawian yang tampak dari kerajaan-kerajaan Bali yang terindianisasi dan
daratan Asia Selatan sebagai model utama agama rakyat. Hal itu juga tidak
terlepas dari hubungan antara teks-teks keagamaan, agama rakyat, organisasi sosial,
wacana sosial dan keagamaan. Usaha ini bertujuan untuk menyatukan teori
neo-Tylorian, yang mendefinisikan agama sebagai suatu sistem penjelasan
(explanatory system) dengan antropologi kognitif kontemporer dan ‚teori
praktik‛ (practice theory).
Melalui
analisis ini akan mendapatkan suatu sistem pengetahuan aksiomatik, yang
menyelesaikan secara teoretis, baik historis maupun etnografis.33Dengan
demikian, sufisme dalam Islam dapat dipahami secara integratif dan korelatif.
Ketiga aspek bekerja secara sistematis untuk menunjukkan eksistensi sufisme
Islam sebagai bentuk kesalehan sosial dan normatif.
Dalam
memahami hal-hal keagamaan terdapat suatu substansi kuat yang menghubungkan
antara ritual dan syari’ah (hukum Islam) serta bentuk-bentuk tingkah laku, yang
sering disebut dengan ‚kesalehan normatif‛. Maksudnya adalah seperangkat
tingkah laku yang didasarkan pada firman Allah melalui sabda Nabi Muhammad,
bagi umat Islam. Doktrinnya adalah bahwa gnosis atau kesatuan dengan Allah bisa dicapai dengan jalan
mistik atau sering dikenal dengan Sufisme yang bertujuan untuk membebaskan dari
segala keinginan dan nafsu duniawi yang menghalangi manusia menyatu dengan
Tuhannya. Lebih dari itu, persoalan yang berkembang adalah terkait penafsiran
yang berbeda terhadap seperangkat aksioma budaya atau keagamaan yang tunggal,
diantaranya;
1.
keesaan
Allah (tauhid)
2.
pembedaan
Sufi antara makna batin
3.
pandangan
Alquran dan Sufi bahwa hubungan manusia dan Tuhan harus dipahami sebagai
hubungan antara kawula dan Gusti
4.
kesamaan
mikrokosmos dan makrokosmos yang sama-sama dianut oleh tradisi tradisi Sufi dan
Hindu.[4]
mengenai
pengalaman subyektif yang pernah dialaminya. Sebab pada dasarnya perasaan‛ dan
‚makna‛ itu satu, dan pengalaman subyektif itu adalah kebenaran religius yang dialami
secara subyektif sebuah analisis empiris atas persepsi batiniah dan kenyataan
lahiriah. keduanya berpadu dalam suatupengalaman yang melibatkan keaktifan
nalar sosial dan nalar spiritual, yang diawali dengan spekulasi. Prinsip
spekulasi itu bukan dalam artian mengartikan sesuatu dengan asal, tetapi lebih
dikarenakan keterbatasan ruang-ruang empiris dalam menunjukkan kenyataan sebenarnya.
B.
Akulturasi
Budaya Jawa
Akulturasi
menurut kamus Antropologi adalah
pengembalian atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang saling
berhubungan atau saling bertemu. Konsep ini terjadi dengan munculnya kebudayaan
asing yang dihadapkan pada satu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu
sehingga lambat laun kebudayaan asing tersebut diterima oleh suatu kebudayaan
satu kelompok tersebut.
Dalam
konsep tersebut Islam diposisikan sebagai kebudayaan asing dan masyarakat lokal
sebagai penerima kabudayaan asing tersebut. Misalnya masyarakat Jawa yang
memiliki tradisi “slametan” yang cukup kuat, ketika Islam datang maka tradisi
tersebut tetap berjalan dengan mengambil unsur-unsur Islam terutama dalam
doa-doa yang dibaca. Wadah slametannya tetap ada, tetapi isinya mengambil
ajaran Islam.
Menurut Koentjaraningrat (1981), terdapat lima hal dalam
proses akulturasi:
1.
Keadaan masyarakat penerima, sebelum proses akulturasi mulai berjalan;
2.
Individu-individu yang membawa unsur kebudayaan asing itu;
3. Saluran-saluran
yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing untuk masuk ke kebudayaan asing tadi;
4.
Reaksi dari individu yang terkena kebudayaan asing.[5]
Sebelum agama Islam masuk ke Pulau
Jawa, raja-raja Jawa sudah biasa melakukan upacara. Salah satu upacara yang
dilaksanakan oleh raja-raja Jawa adalah upacara sedekah raja kepada rakyatnya.
Upacara raja ini disebut raja wedha atau
raja medha. Raja wedha berarti kitab suci raja. Karena raja-raja Jawa beragama
Hindu, maka kitab sucinya adalah Wedha. Raja medha berarti hewan kurban raja yang diberikan kepada rakyatnya.
Biasanya dilakukan untuk menyambut tahun baru. Pelaksanaannya dipilih hari
Selasa Kliwon atau anggara kasih.[6]
Dalam upacara tersebut yang terpenting adalah upacara makan
bersama, yang biasa dikenal dengan slametan
(ngoko) atau wilujengan (krami).
Berbagai upacara keagamaan yang dilakukan dengan slametan, oleh orang Jawa dilakukan pada upacara yang terkait
dengan hari-hari besar Islam. Hal yang sangat penting adalah berbagai perilaku
keramat, seperti puasa (siyam),
tirakat, atau mengendalikan diri dan dengan sengaja melakukan atau mencari
kesukaran, bertapa (tapabrata), dan
bersemedi.
Selain itu, terdapat salah satu temuan studi Muhadjirin
Thohir terhadap masyarakat desa Sukodono dan Senenan, Jepara, menunjukkan
adanya satu tindakan ritual (Islam dan Tradisi Jawa) yang dikaitkan dengan
aktifitas ekonomi seperti yang juga nampak dalam upacara Slametan, yang disebut
Rasulan.[7]
Untuk memulai usaha baru, masyarakat di sana lebih dulu
mencari petung hari, tanggal, dan pasaran secara tepat, menziarahi makam orang
tua, wali, dan leluhur desa. Kemudian melakukan selamatan membuka usaha atau
selamatan Rasulan.
Hidup orang Jawa yang menekankan
ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap
segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat
dan masyarakat dibawah semesta alam. Konsep hidup nrima ing pandum (ora
ngoyo), selanjutnya mengisyaratkan bahwa orang Jawa hidup tidak terlalu
berambisi.Usaha dalam upaya perubahan adalah sebuah improvisasi atas kehidupan
yang lebih baik dari sebelumnya. Orang Jawa pra Islam mewujudkan hal tersebut dalam bentuk tapa, puasa, maupun sekedar menjaga
diri dari perbuatan yang tidak baik. Hal ini bisa menggambarkan bahwa orang
Jawa memahami dan menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk
mendapatkan sesuatu yang bersifat materialistik atau menahan hawa nafsu. Hal
tersebut dipercaya bahwa melakukannya dapat menyucikan dan menenangkan jiwa, serta bisa mendekatkan diri dengan
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Islam
bukanlah produk budaya, tetapi ajaran
Islam mampu mewarnai berbagai aspek kebudayaan. Dalam implementasi ajarannya,
Islam memerlukan media untuk mentransformasikan nilai-nilai universalnya ke
dalam tataran praksis kehidupan. Dari sinilah muncul keragaman budaya Islam,
yang disebabkan adanya perbedaan penafsiran dan pembumian ajaran Islam. Maka ajaran
Islam sesungguhnya merupakan hasil perpaduan antara ajaran Islam yang dipahami
masyarakat dengan kebudayaannya, atau penerjemahan universalitas ajaran Islam
ke dalam lokalitas kebudayaan.
C.
Nilai
Esensial Budaya Jawa dalam Islam
Pandangan masyarakat Jawa terhadap nilai kereligiusan masih
sangat kaya pengaruhnya dengan budaya agama Hindu. Ada kecenderungan nilai
religius budaya Jawa dengan tujuannya mencari makna terdalam segala hal ikhwal,
namun sekaligus suatu kebimbangan terhadap kekuasaan para dewa. Nilai religius
budaya Jawa mempunyai implikasi terhadap cara pandang masyarakatnya mengenai
Tuhan.
Masyarakat adalah sebagai perwujudan dari kumpulan
keluarga yang besar sehingga setiap anggota berhak mempunyai penghayatannya
akan alam sebagai satu berkah dari Tuhan. Kosmos termasuk kehidupan benda dan
peristiwa di dunia dan menjadi satu kesatuan yang eksistensial baik material
maupun spiritual.
Setelah Islam datang ke Jawa, dan membawa paham
monoteisme, lambat laun mengikis habis kepercayaan-kepercayaan lokal, yang
masih menyakini adanya dewa-dewa dan dayang desa yang diekspresikan dalam
bentuk upacara-upacara keagamaan lokal seperti : bersi desa, nyadran,
tingkepan, dll. Kalaupun upacara itu masih dijalankan, tetapi isinya sudah
hampir semua islam. Kepercayaan-kepercayaan lokal itu, sekarang sudah di ganti
dengan hanya beriman kepada allah yang maha esa, sehingga upacara-upacara itu
telah digantikan dalam bentuk peribadatan menurut ajaran islam. Proses
hilangnya kepercayan-kepercayaan asli tersebut melalui proses panjan, dengan
interaksi yang intensif antara islam dan kebudayaan jawa. Proses tersebut
bahkan sampai sekarang masih terus berlangsung setelah berjalan enam abad lebih. Upacar sesaji dan
slametan sudah jarang dilakukan, diganti dengan sholat sunat dan ibadah-ibadah lain
menurut ajaran Islam.[8] Akan tetapi masih ada sebagian
masyarakat Indonesia yang melakukan hal tersebut.
Sesuai dengan kodratnya, budaya jawa, seperti halnya
budaya-budaya lain, pasti akan selalu mengalami proses perubahan atau perkembangan
dalam arti yang luas. Dalam arti sempit perkembangan itu kita batasi pada
perubahan kearah kwalitas yang tinggi. Sedang sebaliknya, perubahan kearah
kwalitas yang rendah, biasanya kita sebut sebagai kemerosotan atau degradasi.
Jadi pengembangan budaya jawa adalah upaya secara sadar untuk secara terus
menerus meningkatkan kwalitas budaya jawa.
Dalam akulturasi budaya Jawa dan Islam, tidak luput
dengan tradisi masyarakat yang memiliki nillai spiritual dan etika. Tradisi
adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang dengan disengaja, dan bukan terjadi
secara kebetulan.[9]
Hukum melanggar tradisi masyarakat adalah tidak baik selama tradisi tersebut
tidak diharamkan dalam Islam.
Dalam hal ini, penulis sedikit memberikan contoh
tradisi-tradisi budaya jawa yang mempunyai nilai-nilai keislaman, antaralain:
Tradisi
Ngapati, Mitoni dan Tingkepan (Melet kandung)
Ngapati
atau
Ngupati adalah upacara selamatan
ketika kehamilan menginjak pada usia 4 bulan. Sedangkan upacara Mitoni atau Tingkepan (melet kandung) adalah upacara selametan ketika kandungan
berusia 7 bulan.upacara selametan tersebut dilakukan dengan tujuan agar
janinyang ada dalam kandungan nantinya lahir dalam keadaan sehat, wal afiyat
serta menjadi anak yang soleh.
Al-Quran
al-Karim menganjurkan kita agar selalu mendo’akan anak cucu kita, kendatipun
mereka belum lahir. Dalam al-Quran dikisahkan tentang kisah Nabi Ibrahim yang
mendo’akan anak cucunya yang masih belum lahir.[10]
Terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 124
$uZ/u $uZù=yèô_$#ur Èû÷üyJÎ=ó¡ãB y7s9 `ÏBur !$uZÏFÍhè Zp¨Bé& ZpyJÎ=ó¡B y7©9
“Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang
yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat
yang tunduk patuh kepada Engkau.” (QS. Al-Baqarah: 128)
III.
Kesimpulan
Agama Islam yang
mengajarkan sikap toleransi terhadap sesama agama menjadikan Islam yang
berkembang di indonesia mempunyai beragam budaya. Kelestarian budaya yang
terdapat di Indonesia yang mengandung ajaran Islam sampai sekarang, tradis
tersebut tetap lestari agar Islam pada saat itu mudah di terima oleh
masyarakat. Karena sekarang ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat
cepat dan memudahkan dalam memahami pengetahuan agama Islam. Sehingga
mendorong kita untuk kembali pada Al-Quran da Al-Hadist. Karena Islam tidak
mengajarkan ajaran agama Hindu dan agama Budha di dalam Al-Quran dan Al-Hadist
sebaiknya kita tinggalkan.
Daftar
Pustaka
Prabowo Dhanu Priyo,Pengaruh Islam Dalam Karya-karya R. Ng.
Ranggawarsita (Yogyakarta: Narasi,
2003)
Yusuf Mundzirin, dkk, Islam dan Budaya
Lokal (Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Suka Press, 2005).
Akademik
Pokja, Islam Dan Budaya Lokal (Yogyakarta Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga:,2005).
Ramli
Muhammad Idrus Membedah Bid’ah dan
Tradisi dalam Persepektif Ahli Hadiits dan Ulama’ Salafi, (Surabaya:
Khalista, Cet. I, 2010).
[1] Kelompok Islam tersebut mempunyai ritual dan pemahaman
terhadap Islam yang berbeda. Bahkan, Geertz menegaskan perbedaan itu sebagai
dikotomi santri, priyayi, dan abangan. Keberadaan sinkretisme Jawa merupakan
hasil pengolahan dan penyesuaian antara budaya lama dengan budaya Jawa, yang
sering dikenal dengan istilah agama Jawa atau kejawen. Selain itu, sinkretisme
dianggap sebagai tradisi rakyat yang dirintis oleh kaum Abangan.
[2] Dhanu
Priyo Prabowo,Pengaruh Islam Dalam Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita (Yogyakarta: Narasi, 2003), hlm 9.
[4] penafsiran tersebut disadari atau tidak berpengaruh pada
pola tingkah laku manusia baik secara sosial maupun secara keagamaan, meskipun
melalui cara memahami yang berbeda. Apabila ditelisik lebih jeli lagi,
sebenarnya substansinya mempunyai kesamaan kuat dan dalam batasan yang masih menyatu. Jika melihat
kenyataan di masyarakat, orang Jawa mempercayai arus pengalaman subyektif sebagai sebuah
mikrokosmos dari alam semesta yang sangat luas ini. Hal itu juga merupakan
konsep Jawa yang meminjam istilah India, yang ditafsirkn secara khas.
[5] Mundzirin Yusuf, dkk, Islam dan Budaya
Lokal (Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Suka, 2005), hlm. 16.
[6] Ibid, hlm. 129.
[7] Ibid, hlm. 18.
[8] Pokja Akademik, Islam Dan Budaya Lokal (Yogyakarta
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga:,2005),
hlm.19-20.
[9] Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bid’ah dan Tradisi dalam
Persepektif Ahli Hadiits dan Ulama’ Salafi, (Surabaya: Khalista, Cet. I,
2010), hlm. 39.
[10] Ibid, hlm. 41.
No comments:
Post a Comment